Voll Johannes Bosco -Utak-atik Hemat Energi


Kompas - Kamis, 14 Agustus 2008 | 03:00 WIB RENY SRI AYU TASLIM

Voll Johannes Bosco -Utak-atik Hemat Energi

Setiap kali ditanya latar belakang pendidikan, ia langsung menyebut S3. Maksudnya, SD, SMP, dan SMA, selebihnya tak ada lagi. Paling-paling ikut pelatihan, seminar, atau otodidak. Itulah Voll Johannes Bosco.

Orang sering bertanya tentang latar belakang pendidikannya. Sebab, Boy, panggilannya, piawai dalam mengutak-atik perkakas sederhana menjadi sesuatu yang tak biasa. Ia kerap merakit atau memodifikasi alat-alat dan bahan sederhana menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.

Pada tahun 2004 Boy memodifikasi kendaraan roda dua berbahan bakar bensin menjadi berbahan bakar air bercampur bensin. Tahun 2005 ia memodifikasi generator berbahan bakar bensin menjadi generator tenaga angin. Dimodifikasi dengan lampu hemat energi, generator ini mampu menyuplai listrik untuk 100 rumah.

Generator hasil modifikasi Boy digunakan di beberapa desa di Sulawesi Tengah yang belum terjangkau listrik. Di Palu lampu hemat energi berbahan bakar angin juga digunakan di beberapa taman kota.

”Potensi angin di Palu dan daerah lain di Sulteng cukup besar. Mengapa angin ini tidak diubah menjadi tenaga yang bisa digunakan untuk penerangan? Sederhana saja, dengan kincir angin. Angin yang berembus kencang sejak pagi hingga malam disimpan. Pada malam hari tenaga itu digunakan untuk membangkitkan listrik,” katanya.

Sebelumnya, pada 2002, Boy membuat kendaraan semacam amfibi yang bisa berjalan di air ataupun di darat. Kendaraan ini sudah diuji TNI AL. Pada 2004 ia membuat multipurpose gas, alat yang menghasilkan gas dengan cara elektrolisis air.

Alat ini bisa digunakan untuk mengelas, menjalankan mesin, dan melebur besi. Pernah dicoba pada kendaraan roda empat, ternyata bisa menghidupkan mesin dan menjalankan kendaraan. Ia terus memodifikasi alat ini agar dapat ditempatkan pada bagian mesin mobil.

Pada tahun 2002, saat listrik dan keterbatasan energi belum diributkan, Boy membuat lampu hemat energi. Dibandingkan dengan neon dan merkuri, lampu ini hemat listrik hingga 90 persen dan bisa digunakan lebih dari lima tahun. Boy menghitung, untuk lampu taman dan penerangan jalan di Palu, setiap satu triwulan biayanya Rp 633 juta. Dengan lampu hemat energi buatannya, biaya itu bisa ditekan menjadi Rp 39 juta.

”Saya gemas, kenapa pemerintah tak mau memanfaatkan ini? Padahal, bila lampu ini digunakan, kelebihan listrik yang tak terpakai bisa dimanfaatkan untuk hal lain,” kata karyawan RRI Palu ini.

Sumber daya alam

Boy tak menyebut semua alat itu sebagai penemuan. ”Lebih tepat disebut pengembangan teknologi atau teknologi tepat guna. Apa yang saya lakukan bukan sesuatu yang baru dan bisa dilakukan orang lain,” ujarnya.

Ia mengaku sekadar mencari sesuatu yang bisa diaplikasikan, terutama di pelosok. Maka, Boy tak peduli dengan urusan hak paten atas apa yang dikembangkannya.

”Saya puas bila apa yang saya lakukan dapat diaplikasikan dan berguna,” tuturnya.

Boy juga mengamati potensi air yang ada di Sulteng. Katanya, Danau Lindu dan Danau Poso sangat potensial menjadi pembangkit listrik tenaga air. Listrik seharusnya tak menjadi kendala bila potensi air ini dimanfaatkan.

”Danau Lindu bisa mencakup tiga wilayah, yakni Pemerintah Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Parigi Moutong. Ketiganya bisa bekerja sama membangun PLTA dengan menyisihkan anggaran dari APBD masing-masing, dibantu APBD provinsi dan APBN. Begitu juga dengan Danau Poso. Kalau kedua sumber air ini dimanfaatkan, saya yakin tak ada krisis listrik di Sulteng,” katanya.

Menurut Boy, tidak produktif bila krisis listrik diatasi dengan mengurangi jam kerja. ”Padahal, kalau mau memanfaatkan tenaga angin, pabrik atau industri bisa tetap jalan tanpa perlu terlalu bergantung pada PLN. Di beberapa negara industri, ini sudah diterapkan,” katanya.

Ia miris dengan kenyataan peneliti atau orang cerdas di Indonesia relatif tak mendapat tempat dan kurang dihargai. Hal ini pula yang dialami Boy dengan semua pengembangan yang dilakukannya. Kendati mendapat bantuan laboratorium sederhana dari Pemkot Palu, ia tak puas karena apa yang dihasilkan lebih sering tidak terpakai.

”Kalaupun mau dipakai, atas nama birokrasi, apa yang sudah saya lakukan harus dibuat oleh orang lain atau perusahaan lain, dengan nama mereka,” kata Boy.

Keluarga mekanik

Boy tak punya latar belakang pendidikan formal. Namun, keluarganya memang kebanyakan mekanik dan ini berpengaruh pada hobi utak-atik sesuatu.

Saat masih SMA ia membuat pemancar radio yang bisa tembus hingga Jakarta dan Kalimantan. Setamat SMA, Boy bekerja sebagai mekanik dari satu perusahaan ke perusahaan lain, antara lain di pabrik es dan traktor.

Nasib membawanya menjadi pegawai RRI pada 1982. Ini lagi-lagi terkait kesukaannya utak-atik. Saat itu sedang berlangsung Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di Kabupaten Toli-Toli. Acara yang harus disiarkan langsung RRI Palu ini nyaris gagal karena RRI tak punya pemancar berjangkauan luas.

”Jadilah pemancar saya dipakai dan siaran langsung sukses. Seusai MTQ saya dipanggil menjadi pegawai pada bagian elektronik RRI Palu. Saya dijanjikan belajar di luar negeri untuk memperdalam pengetahuan,” katanya.

Di RRI, kemampuan Boy mencuat. Pemancar-pemancar rusak dan tua di beberapa daerah di Indonesia yang tak bisa diperbaiki petugas lain, bisa selesai di tangannya. Peralatan besar dan sulit dibuat lebih padat dan sederhana.

Namun, Boy merasa kemampuannya justru menjadi ancaman bagi sebagian seniornya di RRI. Maka, harapannya belajar ke luar negeri pupus. ”Setiap kali dikirim pelatihan atau belajar, saya selalu peringkat satu, termasuk pelatihan di Jepang dan Jerman. Dengan prestasi ini harusnya saya yang dikirim belajar, tetapi ternyata tidak,” cerita Boy.

Ia tetap berusaha mengembangkan berbagai alat yang bisa berguna. Belakangan, ia banyak melakukan pengembangan terkait listrik.

”Saya melihat dalam setiap kabel ada atom, elektron yang merupakan energi yang terperangkap. Energi ini bisa diubah menjadi tenaga listrik dengan menggunakan tegangan, bukan arus. Bila ini dimanfaatkan, pembangkit berkekuatan 10 MW bisa diganti dengan 1 KW,” katanya.

Bila pengembangannya berhasil dan bisa diterapkan di rumah-rumah penduduk, yang diperlukan hanya jaringan yang bagus. Untuk itu, Boy membutuhkan alat berupa campuran kristal dan aluminium untuk mengatur tegangan dan memicu energi yang terperangkap dalam kabel menjadi tenaga listrik.

”Alatnya bisa dibuat, tapi relatif mahal. Saya harus melakukan penelitian untuk mendapatkan komposisi yang pas. Di atas kertas, ini bukan mustahil,” katanya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

4 komentar

komentar
August 14, 2008 at 10:07 AM delete

Boy Voll memang telah melakukan beberapa hal luarbiasa. Mustinya Boy Vol mendapat hak paten atas banyak karyanya yg digunakan. Tapi dirugikan daya, disaat indonesia takluk pada USA soal hak paten, justru karya Boy voll gak disahuti SBY sebagaiman SBY ikut kampanyekan hak paten seni nyanyi dan musik.

Spt yg diuraikannya, banyak karyany dipake orang dan atasnama si pemakai, menyedihkan memang.

Konon temuan Boy Voll telah dipakai oleh perusahan raaksasa otomotif jepang. Seorang tman cerita bhw karya Boy Voll diantarnya adalah mobil betanega hidrogen.

Cerita teman tsb sangat persis dgn tulisan feuture Sidiq Pramono, wartawan kompas, saat berada di Jepang (lupa persisnya even apa di sana, festival sakura mungkin) ketika mengurai singkat, pada awal tulisan, tentang test drive mobil honda bertenaga hidrogen (tentu tak 100% hidrogenya)--lupa persisnya kompas edisi kapan--sangat mungkin adalah teknologi tersebut adalah temuan dari Boy.

Aku bernani bilang spt itu krn tmanku sempat mengemukakan bagaimana seorang Boy Voll telah berupaya dpt hak paten atas karyanya tapi tak ada backup dari pihak yang mustinya memberikan dukungan atas hal ini, ehehehee, nasib2, jadi orang indonesia itu memang berat. Akhirnya karya besar dipake orang laen, dipake perusahan dan sialnya atasnam mereka. Ini sama persis dengan nasib jamur tahu (atau tempe..........?) yg dipatenkan oleh orang luar indonesia, didunia seni, lagu rasa sayange dipake malaysia, hehehehe.
Bulsyeeeeeeeeeeeet merdeka disaat negara blm memerdekakan warganya.

Reply
avatar
October 10, 2011 at 10:22 PM delete

hebat... pengen belajar listrik nich...

Reply
avatar
January 5, 2013 at 11:34 PM delete

sepertinya yg bisa dipatentkan yg murni belum ada alias bener² baru..
klo saya liat di free energy magnet motor nya bpk voll ini seperti patent parendev motor dan HHO generatorpun sudah dipatentkan dari dulu,klo gak salah yull brown

intinya bpk voll ini hanya melanjutkan saja /berinovasi atas penemuan yg sudah ada atau yg sudah dipatentkan..jadi gak mungkin bisa dipatentkan kembali

nah daripada penemuan inovasinya hanya diambil oleh golongan orang licik untuk dikomersilkan alangkah lebih baiknya jika detail pembuatan serta alat/bahan inovasinya cepat disebar saja diinternet agar semua orang tau dan bisa membuatnya

jika sudah tersebar luas mrk yg mencoba mengambil keuntungan besarpun akan mati kutu...

memang dengan cara itu,kemungkinan besar bpk voll tidak bisa berharap banyak untuk mendapat "hasil" dari inovasinya ini,namun setidaknya bpk voll sudah membantu orang banyak dan menekan monopoli /penguasaan sepihak teknologi ini
sebaiknya juga ada web khusus bpk voll ini serta mencoba meminta bantuan seluruh dunia dalam bentuk donasi serelanya agar penelitian dapat terus berlanjut untuk kepentingan semua orang..bukan kepentingan sekelompok orang saja







Reply
avatar