Energi Kejujuran


Kembali kegetiran melanda bangsaku. Pasukan Garuda menang tapi tak juara, karena pada hakekatnya kita kalah agregat gol 4-2 dengan pasukan negeri tetangga, pasukan harimau Malaya. Kesedihan Nampak pada wajah-wajah supporter, baik yang menonton langsung maupun jutaan pemirsa yang menonton lewat siaran televisi. Terlihat jelas wajah wajah kesedihan melalui komen-komen di facebook maupun tweeter. Sebuah kesedihan dan penyesalan, mengapa Garuda yang begitu gagah perkasa di penyisihan harus terpelesat 3-0 di Final? Dan akhirnya kalah agregat gol 4-2.
Kelihatannya kita ada masalah secara keseluran sebagai Tim Indonesia. Sudah lama kita kehilangan energy kejujuran untuk membangun bangsa ini. Lama sudah tersandra kasus Gayus, kasus Anggodo, kasus Bibit Chandra, dan kasus ketua PSSI yang walau telah di hokum di kasus korupsi dan tiada prestasi yang berarti namun tetap kukuh memimpin PSSI. Tuhan maha, adil untuk senantiasa mengingatkan hamba-hambanya yang sulit menerima pengajaran pengalaman darinNya. Walaupun naturalisasi dicoba untuk mendongkrak prestasi, namun karena niatnya untuk memperkukuh kekuasaan, maka hasilnya PSSI tetap di hati, namun pengurus PSSI harus intropeksi, untuk mau memberikan kesempatan kepada mereka yang lebih mumpuni mempunyai jiwa sportif dan mampu mengelola sepakbola dengan baik, tanpa mengorbankan untuk politik. Mengapa tidak dicoba kepada mereka pengurus-pengurus klub yang telah mampu menghantar klubnya menjadi juara. Sudah saatnya bukan hanya pemain yang harus berkompetisi menunjukkan kemampuannya untuk bisa tergabung dalam pasukan Garuda, namun juga pengurus/ calon pengurus harus juga berkompetisi bisa mengurus dengan baik. Membuktikan ia mampu menghantar tim mencapai prestasi yang membahagiakan. Bukan menghantar PSSI ke politisi untuk cium tangan.
Namun harapan itu kita rasakan begitu berat, karena energi kejujuran bangsa ini telah lama tercucur dan habis. Ditipu kebohongan demi kebohongan dengan sistematis. Berapa kali aparat yang berwenang menipu kita dengan kasus Ayin, dan kita pun berulang-ulang melihat pemimpin kita berucap saya tidak mau intervensi. Kalau yang diberi mandate saja lepas tangan apalagi kita sebagai rakyat yang hanya kuasa delok “kendel alok” hanya bisa berucap. Kalau masalah yang begitu kelihatan seperti video porno masih bisa dibalikkan dengan pencemaran nama baik, apa tah lagi yang menyangkut olahraga, mungkin di urutan 10000 pun kita tak tahu. Energi kejujuran kian menyusut, lihatlah suara Bibit Samad yang kelihatan makin parau karena hingar binger mereka yang tak ingin kasusnya terungkap. Dan masih lekat di ingatan kita bagaimana Munir ditidurkan oleh mereka yang mengaku berjiwa satria tentara, dan bagaimana Baharudin Lopa meninggalkan kita dengan amat mendadak. Mungkin memang benar kebohongan itu akan ditutupi dengan kebohongan berikutnya. Sudah lama kita berbohong tentang diri kita sebagai jati diri bangsa, sudah lama kebohongan diajarkan secara sistematis di sekolah-sekolah. Sudah lama kita tidak tahu siapa sebenarnya yang mempunyai ide Serangan Umum 1 Maret, mengapa rakyat sendiri dimusnahkan dalam peristiwa 65, mengapa mahasiswa ditembaki dalam era 1970 an, mengapa kemudian yang pro orde baru menjadi sangat reformis dan berhasil mengekalkan kendaraan partainya.
Nampaknya kita tidak banyak berubah, pola permainan berubah, tetapi yang main tetap. Mereka yang berkuasa dan menetapkan aturan sekarang pun Nampak seperti itu. Masih begitu jelas dalam pelupuk mata, apa yang terbayang di pelupuk mata ketika mendengar kata “Anggota Dewan”, terbayang di kita sekumpulan orang yang rajin benar belajar lewat study banding, malas rapat, dan pandai bercakap seolah-olah dirinya yang paling tahu terhadap persoalan mulai bencana, ekonomi, pornografi, sampai ke sepakbola. Karena dia wakil kita maka saya anggap begitulah cerminan kita manusia Indonesia sebagai bangsa. Tentunya jikalau kita memilih Imam, maka Imam tersebut akan membawa kita kepada kesempurnaan ibadah. Dan wakil kita, kita berharap membawa kepada kesempurnaan dan kejayaan kita sebagai bangsa.
Mungkin sekali lagi kita telah lama kehilangan energi kejujuran sebagai bangsa. Sehingga jika ada masalah tidak lekas bisa mengenali, tetapi malah sibuk dengan berbagai tudingan, alas an, dan melaporkan orang lain atas nama pencemaran nama baik. Masih adakah nama baik itu? Sudah lama sejak mahasiswa kita berlatih titip absen, bahwa nilai IPK lebih utama daripada ilmu dan kemampuan sehingga, mencontek lebih utama daripada kerja mandiri kalau nilainya lebih baik. Begitu mulai kerja, kita dikenalkan kepada tradisi pinjam bendera, mengelola proyek dengan nama perusahaan lain, kemudian ada istilah cash back atau titipan, memberikan sejumlah uang dari uang yang dibayar kembali kepada individu yang memberikan kerja, karena dianggap telah bekerja. Selepas bekerja kita diminta berbagai macam pungutan, mulai parkir gelap, pajak penghasilan, pajak pemebelian, pajak bumi dan bangunam, pajak kendaraan, administras bank, pajak deposito, dll, tanpa tahu sebenarnya semua itu betul-betul akan masuk ke Negara atau hanya untuk memfasilitasi sebagian diantara kita yang mempunyai label pemegang amanah.
Sudah lama energi kejujuran kita terkuras, sampai ada keyakinan di alam bawah sadar kita bahwa “jujur ajur”, begitu beratnya beban mereka yang berupaya jujur malah terpinggirkan secara system. Begitu sulit sekali kita berucap jujur dengan hati kita, sampai-sampai untuk menjelaskan kepada “Ayam jago” saja menunggu berbulan-bulan. Mengulur waktu untuk merancang kebohongan-kebohongan baru untuk pembenaran-pembenaran perilaku yang tidak jujur. Begitu sulit kita jujur apakah BBM perlu naik apa tidak, karena sudah lama ketika BBM untung, keuntungannya tidak digunakan untuk investasi, tetapi ketika rugi maka jalan pintasnya adalah menaikkan untuk menutup kerugian.
Sudah lama kita mengenal hutang sebagai hibah, padahal telah diajarkan bahwa hibah tidak mengenal pengembalian, ini hibah harus ada pengembalian plus bunga. Kita sebagai rakyata tidak pernah tahu kapan kita berhutang, tetapi harus tahu bahwa saatnya kita sekarang urunan untuk membayar hutang dengan segala macam pajak, dan segala macam kemahalan,
Mungkin kita telah salah mengetepikan kejujuran dalam mindset, cara berpikir kita, sehingga apa yang kita kerjakan senantiasa tidak membawa berkah malah membawa bencana dan kehancuran sebagai bangsa. Dan sekali lagi kita memetik pelajaran dalam hal yang Nampak, dalam sepakbola pun kita kalah, karena tak jujur mengelola sepakbola, menjadikan sepakbola permainan gengsi para politisi. Selepas ini mari kita “Nobar” nonton bareng lagi para politisi berkilah dan bercakap tiada arti, tiada goal (tujuan) yang mampu mereka buat. Dan janganlah lupa untuk terus tetap bekerja giat, karena esok kita masih butuh makan dan membayar berbagai macam pajak dan kenaikan, kecuali anda mampu mengupah gayus-gayus yang lain untuk menghapuskan pajak kita seperti yang telah dilakukan oleh para petinggi partai kita. Teruslah bekerja, jayalan Indonesia, bila-bila ada masa …..