Penasaran : Pegawai Pajak lebih kaya dari PNS Lain

Ditulis ulang dengan sedikit perubahan oleh Agam Rosyidi
URL :
http://rosyidi.com/pemeriksa-pajak-jujur-1/

Sumber :
Majalah Tarbawi Edisi 111 , 23 Juni 2005


Sebagian orang menganggap uang adalah segalanya. Bahkan harga diripun tergadaikan oleh uang. Namun ternyata masih ada beberapa gelintir orang yang tetap menjalankan tetap jujur walaupun seluruh teman-temannya berusaha mengajaknya mencari uang haram dengan jalan KORUPSI.

Berikut ini merupakan kisah yang sangat menarik untuk disimak. Yang menceritakan kehidupan Arif Sardjono, seorang pegawai pemeriksaan pajak departemen keuangan yang sangat jujur.

Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung. Sebagai pegawai departemen keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim inspektorat jendral datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menenangkan sekali.

Saya Arif Sardjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kulaih di STAN dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya meikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu barangkali termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rejeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikitpun harta yang haram.

Syukurlah, prinsip ini bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika akan menikah saya sampaikan pada istri bahwa saya pegawai negeri di departemen keuangan, meski imej banyak orang pegawai departemen keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.

Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan pada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang sudah kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan, maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yang penting usaha dan konsistensi kita. Say ajuga suka mengulang beberapa kejadian yang kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada isteri. Baha yang penting cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah mewah dan mobil mewah.

Jabatan saya samapi sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan dengan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu, di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatan dianggap tidak baik dan jatuh.

Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lawat bujukan atau apa pun mereka lakukan agar mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka. Merka ingin semua orang seperti mereka.

Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun berulah ketahuan bahwa kita dikhianati. Cara ini seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai departemen keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara yang lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya sekedar hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalu saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mengajak memancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan itu kita ungkapkan maka pasti perusahaan itu bangkrut dan akan banyak pegawai yang diPHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara di sisi pandang saya, betapa tidak adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain.

Karena dirasa sulit menpengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingakn dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk kas negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunya anggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin melihat orang yang tidak seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak, menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berksan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan.

Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, “Sudahlah, Dik arif tidak usah munafik.” Saya katakan, “Tidak munafik bagaimana Pak. Selama ini saya insyaAllah konsisten untuk tidak melakukan korupsi.” Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kecuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau.

Ketika sangat terpukul dan tidak bisa membalas dengan mengatakan apapun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. Ia lalu mengatakan, “Alahamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai,” katanya. Ternyata di luar pengetahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplop itu tidak digunakan sedikitpun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termauk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir tiap pekan.

Saya menjadi bersemengat kembali. Saya ambil semua ampolop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta ketemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, “Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak akan pernah percaya satu pun perkataan kalian.” Mereka tidak bisa berbicara apa pun karena fakta objektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esoknya saya segera dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di bagian arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemerksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang.



Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja ada saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Di mata keluarga besar misalnya, orang tua saya sebenarnya juga mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu berahun-tahun. Sampai akhirnya, pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, berulah mereka perlhan-lahan bisa memahami.

Meskipun menghadapi cobaan yang berat, alhamdulillah sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis setelah saya membayar kontrak rumah dan tabugan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa istri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.

Saya mau bicara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insyaAllah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa istri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahua’lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan istri yang sudah lunas. Alhamdulillah.

Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada limpoma yang harus diankat. Awalnya, saya pakai Askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berpikir, nanti uangnya pinjam dari mana?

Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian dir umah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saa ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, “Kenapa tidak bilang-bilang?” Saya sampaikan karena tidak sepat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah.

Saya berusaha tidak terjatuh dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, diluar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. isteri saya juga bekerja sebagai guru.

Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan seirus, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, “Uang setan ya dimakan Hantu.”

Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harga mereka jual dan diberikan pada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.

Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu dipertanyakan uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu.

Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum’at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang jum’atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau diigung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibandingkan gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah, dan membaca Al-Qur’an. Tetapi mereka sulit berubah.

Ternyata hidup dengan korupsi membang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekedar mapan.

Yang paling dramatis saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering meminta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya dia mencoba hurang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara.

Saya berharap akan makin banyak orang yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takut menggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-murahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya-berkaca).



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

komentar
October 16, 2008 at 7:19 AM delete

Betul. Sangat betul. Itulah yang menjadikan tempatnya para PNS, ada yang disebut basah dan kering.

Contoh soal lagi.
Tetangga saya dinas di Pertanahan. Ruaaaar biasa mewahnya. Padahal pangkat dan golongan jauh sekali dari saya. (liat di pnskaya.com)

Ipar saya di Kehutanan, dulu sangat mewah, sekarang berangsur menurun.

Tapi.
Saya yakin masih banyak manusia jujur.

Istri saya di Kecamatan, saya selalu mengingatkan agar jangan meminta UANG JASA dalam melayani KTP dsb.

Anak-anak saya juga selalu bertanya, Bapanya pangkat tinggi, tapi tak seperti tetangganya.

Perlu tujuh generasi untuk membekali anak cucu. Pahamkan mereka.


Sudah beberapa dinas saya alami. Begitulah kenyataannya.

Reply
avatar
Anonymous
February 26, 2009 at 7:21 PM delete

Assalamu'alaikum.
terimakasih pak atas cerita pengalamannya.. saya lulus stan tahun 2008. sekarang tugas di LTO 2 (KPP WAJIB PAJAK BESAR 2). kata senior-senior saya, sebelum modernisasi DJP memang korupsinya banyak.. tapi alhamdulillah sekarang saya di DJP sudah modern, sehingga resiko korupsi agak berkurang.. semoga saya dan kita semua tetap istiqomah di jalan Alloh..

Reply
avatar