Lagu (Non) Cinta


Lestari alamku
Lestari desaku
dimana Tuhanku
menitipkan aku

Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa…

Damai saudaraku
Suburlah bumiku
Kuingat ibuku dongengkan cerita
kisah tentang jaya Nusantara lama
tenteram karta raharja disana…

Mengapa tanahku rawan kini
Bukit-bukit pun telanjang berdiri
Pohon dan rumput enggan bersemi kembali
Burung-burung pun malu bernyanyi…

,o^o;

Kuingin bukitku hijau kembali
Semak rumput pun tak sabar menanti
Doa ‘kan kuucapkan hari demi hari
Kapankah hati ini lapang kini…

Lestari alamku
Lestari desaku
dimana Tuhanku
menitipkan aku

Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa…

Reff:
Lestari alamku
Lestari desaku
dimana Tuhanku
menitipkan aku

Kami ‘kan bernyanyi
di purnama nanti
nyanyikan bait
padamu negeri…

Damai saudaraku
Suburlah bumiku
Kuingat ibuku dongengkan cerita
kisah tentang jaya Nusantara lama
tentram karta raharja disana…

Link :
1. http://jiwamusik.wordpress.com/
2. http://musikku345.blogspot.com
3. http://prabu.wordpress.com
4. http://mp3dl.co.cc/index.php?search=koeswoyo
5. http://www.4shared-mp3.blogspot.com/
6. http://unduhmp3.blogspot.com/search/label/Franky%20S
7. http://www.4shared.com/network/search.jsp?searchmode=2&searchName=gombloh
8. http://www.4shared.com/minifolder/4945811/6d0c59c5/sharing.html?woHeader=1
9. http://www.4shared.com/dir/7868999/d8d2734d/Iwan_Fals.html

Motivation Picture


Satu gambar seribu kata, begitulah kata peribahasa. Memotivasi diri dengan melihat gambar jauh lebih berguna daripada mengomel menyesali diri tentang yang telah terjadi. Terinspirasi gambar-gambar poster di dinding program MMT, mendapatkan beberapa tautan menarik yang banyak bisa digali.

Sekedar untuk menenangkan diri atau berbagi motivasi kepada sesama. Sayang jika dilewatkan, sehingga dicatat di bawah ini :

1. http://www.despair.com/
2. http://motivationalbuck.com/
3. https://www.allposters.co.uk/
4. http://www.budsposters.com/
5. http://slapfish.com/
6. http://slapfish.com/failure/failure1280.jpg

Surabaya (1) - Asal-usul Kota


Berawal dari pertanyaan anak tentang asal-usul kota Surabaya dan tempat-tempat yang bernilai sejarah, Alhamdulillah mendapatkan tulisan menarik dari pemerhati sejarah HM Yousri Nur Raja Agam di linknya http://rajaagam.wordpress.com/2008/09/30/asal-usul-kota-surabaya/

PENELITI dan beberapa ahli sejarah, mengungkapkan, dulu Surabaya ini adalah muara sungai dan terbentuk oleh gugusan kepulauan. Muara Sungai Kali Brantas dengan anaknya Kali Surabaya masih di sekitar Wonokromo. Sedangkan Surabaya sekarang merupakan pulau-pulau kecil yang terjadi akibat lumpur yang hanyut dari letusan Gunung Kelud. Namun, lama-kelamaan terus terjadi pendangkalan di muara sungai yang terletak di Selat Madura ini.

Kalaulah gunung Kelud tidak meletus dan menyemburkan lumpur, Surabaya tidak akan mungkin ada. Sebab, salah satu penyebab adanya tanah permukiman Surabaya, akibat mengendapnya lumpur yang hanyut dari gunung Kelud melalui Sungai Kali Brantas dari hulu ke hilir. Sungai Kali Surabaya yang bermuara di Wonokromo itu terus-menerus membawa lumpur dan sedimen dari hilir.

Sedimen yang terus bertambah membuat endapan lumpur semakin meninggi. Terbntuklah gugusan pulau dan menjadi tanah oloran. Lama ke lamaan selat-selat yang terletak di antara gugus pulau-pulau kecil itu menyempit. Di antara pulau-pulau kecil itu banyak yang menyatu, sementara ada pula selat di antara pulau-pulau kecil itupun berubah menjadi anak sungai atau kali.

Kejadian yang unik itu ditopang pula dengan proses tektonik. Permukaan daratan Surabaya naik 5 sampai 8 centimeter per-abad. Sementara itu daratan atau garis pantai bertambah ke arah laut rata-rata 7,5 centimeter per-tahun.

Begitulah asal-usul dan cikal-bakal kejadian daratan di muara Kali Surabaya, sehingga daerah yang semula bernama Junggaluh atau Ujunggaluh atau Hujunggaluh, kemudian bernama Surabaya. Tidaklah mengherankan, kalau sampai sekarang Surabaya berada di dataran rendah dan terletak pada ketinggian hanya 0 sampai 6 meter di atas permukaan laut. Jadi, kalau Surabaya banjir atau pasang naik mencapai bibir daratan, tidak perlu heran dan sebenarnya tidak perlu dirisaukan.

Dari gugus pulau-pulau kecil yang disebut pulo di muara sungai Kalimas yang berinduk ke sungai Kali Brantas itu, ada selat-selat yang dulu diberi nama kali. Jadi tidaklah mengherankan ada nama tempat di Surabaya ini yang disebut pulo dan kali. Di sini pola hidup dan kehidupan warga asli adalah memancing dan berburu. Rumah-rumah penduduk kampung asli Surabaya dulunya berada di atas tiang dan di atas permukaan air, sebagaimana umumnya permukiman pantai.

Seiring dengan perkembangan ruang dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan di dunia pantai yang berubah menjadi pelabuhan itulah yang mendorong terjadinya kegiatan kemaritiman. Dunia maritim ini saling tunjang dengan perdagangan dan industri. Inilah ciri khas Surabaya pada awalnya, yang kemudian berkembang ke arah pendidikan, budaya dan pariwisata seperti sekarang ini.

Sebagai wilayah berada di muara sungai yang berkembang menjadi pelabuhan, keberadaannya diakui oleh pemerintah penjajah Belanda di awal abad ke 16. Evolusi menjadi kota besar mulai terjadi setelah dilakukan pemetaan wilayah oleh Muller tahun 1746. Pemetaan wilayah Surabaya itu atas perintah Gubernur Jenderal Belanda wilayah Hindia Belanda yang mendarat 11 April 1746 di utara Surabaya.

Awalnya luas kota Surabaya yang secara otonom diserahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat pembentukan kota 1 April 1906 di bawah pemerintahan walikota (burgermeester), sekitar 5.170 hektar atau 51,70 kilometer per-segi.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Pemerintahan Kota Surabaya dikukuhkan dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 dengan luas wilayah 67,20 kilometer per-segi atau 6.720 hektar.

Kemudian terjadi perluasan kota dengan penambahan wilayah dari lima kecamatan dari Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik). Luas kota bertambah 15.461,124 hektar atau 154,6 kelometer persegi, sehingga luas kota Surabaya menjadi 22.181,12 hektar atau 221,18 kilometer per-segi.

Entah apa dasarnya, setelah tahun 1965 pada keterangan dan dalam buku agenda resmi Pemerintahan Kota Surabaya terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar

Sejak tahun 1992, berdasarkan pemotretan udara, ternyata luas Surabaya 32.636,68 hektar.

Memang, begitulah kenyataannya, konon hingga sekarang, luas daratan kota Surabaya terus bertambah. Dinas Tatakota Pemkot Surabaya, Senin, 12 Mei 2003, pernah mengungkap pertambahan luas daratan itu disebabkan lumpur yang hanyut ke muara sungai, terutama di hilir Kali Jagir sampai daerah Wonorejo. Akibatnya, selain muara sungai menyempit, juga semakin dangkalnya laut di muara sungai, bahkan menimbulkan tanah oloran baru.

Kalau kita amati dan kita cermat melakukan jalan keliling kota, pertambahan daratan Surabaya itu, juga akibat kegiatan reklamasi pantai dan pengurukann laut. Kegiatan yang dilakukan pihak swasta ini, pertama di daerah pertambakan, pembangunan perumahan di pinggir pantai serta perluasan daratan yang dilakukan pengelola Pantai Ria Kenjeran.

Kalau dalam buku agenda tahun 1980-an, luas Surabaya tertulis 29 ribu hektar. Kemudian pada tahun 1990-an dari hasil pemotretan udara, luas Kota Surabaya 32,63 ribu hektar. Namun, di tahun 2003, Kepala Dinas Tatakota Pemkot Surabaya Ir.Erlina Soemartomo (waktu itu) menyebut luas Kota Surabaya, 35 ribu hektar lebih. Kendati demikian, pada buku kerja (agenda) resmi terbitan Pemkot Surabaya tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006, luas wilayah kota Surabaya tetap dicetak 326,37 km2 atau 32,63 ribu hektar lebih.

Tutur Tinular

Kembali cerita tentang kapan Surabaya mulai disebut dan mulai ada, atau “lahir” , versinya macam-macam. Dalam cerita lama, seperti yang terdapat, dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Timur yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, ada dongeng tentang Surabaya.

Selain dongeng, juga ada cerita dari cerita yang disampaikan secara berkesinambungan dari nenek moyang kepada kakek, dari kakek atau nenek kepada ayah dan ibu, kemudian dari ibu kepada anak dan cucu, terus pula kepada cicit dan buyut, begitu seterusnya sampai sekarang ini. Kalau boleh dikatakan seperti tutur tinular, yakni penuturan yang kemudian ditularkan atau disebarluaskan kepada generasi berikutnya Tentu cerita dan cerita itu sudah tidak orisinal lagi, dipoles di sana-sini, bahkan ditaburi bumbu penyedap, sehingga rasanya menjadi asyik.

Surabaya yang dulunya hutan belantara di muara sungai Kali Brantas, kemudian melahirkan sungai yang berasal dari selat-selat yang terdapat dari tanah oloran yang kemudian menjadi pulau. Sungai-sungai itu tidak kurang dari 50 sungai yang disebut kali. Mulai dari kali yang cukup besar, yakni Kali Surabaya dari Mojokerto sampai Gunungsari. Kemudian, terpecah menjadi dua kali yang agak besar, Kali Mas yang mengalir dari Wonokromo ke arah Tanjung Perak dan yang kedua Kali Wonokromo yang mengalir ke arah Rungkut. Ada lagi Kali Anak yang mengalir ke arah perbatasan Surabaya-Gresik. Dan, sisanya, kali-kali yang kecil, seperti: Kali Asin, Kali Sosok, Kali Pegirian, Kali Kundang, Kali Ondo, Kali Rungkut, Kali Waron, Kali Kepiting, Kali Judan, Kali Mir, Kali Dami, Kali Lom, Kali Deres, Kali Jagir, Kali Wonorejo dan masih puluhan kali lagi yang kecil-kecil.

Sebagai muara sungai besar, di muara itu mengendaplah lumpur, apalagi berulangkali lumpur letusan Gunung Kelud, hanyut ke muara dan membentuk pulau-pulau. Dari berbagai pulau yang merupakan kepulauan itu, lahirlah Surabaya. Pulau-pulau itu memang tidak begitu menonjol, kecuali Pulau Wonokromo dan Pulau Domas. Sedangkan yang lainnya berbentuk rawa dan danau-danau kecil yang disebut kedung, serta sebagian dijadikan tambak. Ada lagi yang masih berbentuk karang.

Maka, tidak heran kalau di seantero Kota Surabaya saat ini nama tempat diawali dengan nama kedung, tambak dan karang. Contoh, Tambaksari, Tambakasri, Tambakoso Wilangun, Tambakbayan, Tambakjati, Tambakrejo, Tambakmadu, Kedungdoro, Kedungsari, Kedungasem, Kedung Baruk, Kedung klinter, Kedungsroko, Kedungcowek, Kedungmangu, Karangmenjangan, Karangasem, Karangrejo, Karang Tembok, Karanggayam dan lain-lain.

Juga ada yang berbentuk tegal, seperti Tegalsari. Konon di Tegalsari atau daerah Surabayan inilah cikal-bakal penduduk daratan Surabaya yang kemudian berkembang sampai ke daerah Bubutan dan sekitar yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Adipati Surabaya.

Asal Nama Surabaya

Pada umumnya, masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”.

Namun berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).

Perlambang kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. Begitu pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).

Nama Surabaya muncul dalam kakawin Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun.

Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Ini, terungkap pada pemerintahan Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini.

Suatu keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh. Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14.

Mitos Cura-bhaya

Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN.Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”. Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun 1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).

Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.

Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.

Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh.

Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan. Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan.

Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar adalah wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.

Nah, sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? Mamang, perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.

Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya. Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang.

Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya). Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya.

Mitos ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.

Bagaimanapun juga, mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.

Asal-usul Penduduk

Penduduk Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang. Para pendatang mulai menatap dan mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang sampai ke darat, terutama di pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan, nama Ujunggaluh mulai dilupakan, dan namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.

Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 (seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya. Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.

Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah, para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di samping ada yang berasal dari daratan Jawa datang terbanyak melalui sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa.

Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari Sumatera, di samping bermukim di pantai, juga banyak yang membangun perumahan di daerah Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel.

Etnis Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya

Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Mojopahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.

Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel, ia disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.

Sejak berdirinya permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, Kediri dan lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.

Setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan, Gemblongan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.

Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi Pertiwi ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.

Ketika pemerintahan kota pertama kali dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.

Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya (Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang.

Dalam sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa.

Anehnya, data dari Dinas Kependudukan Kota Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004, seolah-olah jumlah penduduk Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999 “berkurang”. Padahal ini tidak mungkin, justru sebaliknya. Manakah data kependudukan yang akurat? Mustahil penduduk Surabaya berkurang, yang pasti, penduduk Surabaya terus bertambah.

Data resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk Surabaya tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa, tahun 2001 bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi 2.504.128 jiwa dan akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada akhir April 2004, warga kota Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa.

Data inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berikutnya, yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama dengan sebelumnya, sensus penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah 2.443.558 orang.

Secara rinci, dinas kependudukan dalam buku Informasi Kependudukan Kota Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan, penduduk Surabaya tahun 2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah jadi: 2.504.128, tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004 menjadi: 2.859.655 orang.

Tahun 2006 hingga Agustus, tercatat jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang. Pada awal tahun 2007 diperkirakan sudah mencapai 3,3 juta orang.

Dari BPS (Biro Pusat Statistik) lain lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun berikutnya ditulis sebagai berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474 jiwa), 1995 (2.339.335 jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa), 1998 (2.373.282 jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001 (2.599.512 jiwa).

Data tentang jumlah penduduk Kota Surabaya, dalam “Resume” RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, ternyata berbeda lagi.

Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga 2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai berikut:

Tahun 2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761 jiwa), 2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006 (2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009 (2.603.258 jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012 (2.657.766 jiwa) dan tahun 2013 (2.675.671 jiwa).

Umumnya para pejabat di Surabaya dewasa ini menyebut angka rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3 juta jiwa lebih.

Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2005 jumlahnya mencapai 20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, pada siang hari penduduk Surabaya bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa. ***
Hari Pahlawan

Hari Pahlawan

Bulan November biasanya ditandai dengan peringatan hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November. Banyak peristiwa yang mengiringinya. Berikut ini catatan-catatan kejadian seputar hari Pahlawan ang ditulis sejarawan *) Yousri Nur Raja Agam M.H - Pemerhati sejarah bermukim di Surabaya di http://rajaagam.wordpress.com

Insiden Bendera di Hotel Yamato Surabaya

INILAH awal gerakan sporadis Arek-arek Suroboyo menantang dan melawan keinginan kolonial untuk kembali menancapkan kukunya menjajah bumi pertiwi, Indonesia.

Tanggal 19 September 1945 bagi warga Kota Surabaya, harus selalu dikenang. Sebab itulah gerakan heroik yang sulit dilupakan sebagai awal kebangkitan Arek Suroboyo yang kemudian berkobar dalam peristiwa 10 November 1945. Tanggal yang menjadi tonggak sejarah, sehingga Kota Surabaya memperoleh predikat “Kota Pahlawan”.

Betapa tidak, kejadian di tanggal 19 Sptember 1945 yang dikenal dengan “insiden bendera”, merupakan pemicu semangat juang Arek Suroboyo. Adanya peristiwa perobekan bendera Belanda tiga warna “merah-putih-biru” di atas gedung hotel Yamato (nama di zaman Jepang yang semula zaman Belanda bernama hotel Orange, kini bernama Hotel Majapahit) di Jalan Tunjungan 65 Surabaya itu, benar-benar memperkokoh persatuan pemuda pergerakan di Surabaya.

Hotel Majapahit, sekarang ini, di zaman Belanda bernama LMS Orange Hotel. LMS adalah singkatan nama Lucas Martin Sarkies. “Orange” adalah warna kebanggan bangsa Belanda. Bahkan, hingga sekarang kesebelasan sepakbola nasional Belanda menggunakan seragam kaus berwarna orange. Sewaktu Jepang berkuasa, nama hotel ini diganti menjadi Hotel Yamato.

Wiwiek Hidayat (alm) mantan kepala kantor berita “Antara” di Surabaya, saat masih hidup di tahun 1990-an dalam wawancara dengan penulis pernah mengungkap berbagai peristiwa di tahun 1945. Banyak hal tentang perjuangan Arek Suroboyo dan para wartawan di kala itu yang diceritakan kepada penulis. Ada yang dalam bentuk wawancara, maupun bincang-bincang di waktu senggang. Berbagai kisah masa lalu banyak yang sempat kami catat dari tokoh pers dan pelaku sejarah perjuangan Surabaya ini .

Dari Tunjungan 100

Kendati tidak ikut naik ke atas gedung hotel Yamato yang persis di depan kantor berita Antara di jalan Tunjungan 100 Surabaya itu, Wiwiek Hidayat adalah saksi mata. Ia mengabadikan dan mencatat dengan rapi kejadian di puncak hotel yang kemudian bernana Hotel Majapahit itu. Pak Wiwiek – begitu wartawan senior ini biasa disapa – secara tegas menyatakan tahu persis nama orang yang merobek kain warna biru dari bendera Belanda itu. Kain warna biru itu dirobek dengan digigit. Setelah robek, dua warna merah putih tersisa kembali diikatkan ke tiang bendera dan menjadi sangsaka merah-putih. “Nama orang itu adalah Kusno Wibowo yang dibantu Onny Manuhutu dan ada dua orang lagi yang saya tidak kenal,” kata Pak Wiwiek.

Memang, ada yang lain, tetapi mereka membantu membawa tangga dan hanya naik ke atap gedung bagian tengah, serta beramai-ramai berteriak penuh semangat. Jadi yang berada di puncak tempat tiang bendera itu, hanya ada empat orang. Foto dokumentasinya masih tersimpan di kantor berita “Antara”, ujar Pak Wiwiek waktu itu. Anehnya, kemudian banyak orang lain yang mengaku-ngaku sebagai pelaku perobekan. Sehingga, akhirnya diputuskan dan disepakati bahwa pelakunya adalah “Arek Suroboyo” (tanpa nama).

Pak Wiwiek di tahun-tahun terakhir sebelum beliau berpulang ke Rahmatullah, hampir tiap sore bertandang ke Balai Wartawan Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya. Di sana ia berkumpul dengan wartawan muda. Keakraban dengan wartawan muda itu, memberi gairah Pak Wiwiek bernostalgia. Sehingga pikiran jernihnya berhasil mengungkap tabir di balik peristiwa insiden bendera yang bersejarah itu.

Hari Selasa, 18 September 1945, siang hingga sore beberapa anak muda Belanda Indo mengibarkan bendera Belanda “merah-putih-biru” di atas gedung hotel Yamato. Mereka itu berada di bawah perlindungan opsir-opsir tentara Sekutu dan Belanda dari kesatuan Allied Command. Tentara ini datang ke Surabaya bersama rombongan Intercross atau Palang Merah Internasional.

Beberapa hari sebelumnya terdengar kabar, bahwa anak-anak muda Belanda Indo itu membentuk organisasi bernama “Kipas Hitam”. Tujuannya untuk melawan gerakan kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945 (sebulan sebelumnya). Selain berlindung di belakang opsir Sekutu dari Alleid Command, ternyata para opsir itu adalah NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang ingin mencengkeramkan kembali kukunya di Bumi Nusantara.

“Melihat tingkah bule-bule di hotel yang terlihat jelas dari kantor berita Antara, membuat darah para wartawan mendidih. Ulah tingkah anak-anak muda Belanda itu segera disebarkan kepada kelompok pergerakan. Situasi semakin menghangat dan hiruk pikuk, tatkala melihat bendera Belanda tiga warna berkibar di atas hotel Yamato”, cerita Pak Wiwiek.

Suasana bertambah panas, ketika besoknya pada Hari Rabu, 19 September 1945 pagi, anak-anak muda Belanda Indo itu berkumpul di depan hotel. Beberapa orang yang melihat bendera Belanda berwarna “merah-putih-biru” berkibar di puncak hotel Yamato, tidak hanya sekedar menggerutu, tetapi beberapa di antaranya berteriak-teriak histeris. Mereka minta agar bendera itu diturunkan. Namun anak-anak muda Belanda Indo itu menolak dan dengan congkaknya seolah-olah menantang.

Sadar bahwa ulah anak-anak Belanda itu sudah keterlaluan. Suasana di kalangan anak muda Surabaya semakin tidak menentu. Mau bertindak sendiri-sendiri, masih ada keragu-raguan. Belum ada satupun yang mengambil inisiatif, termasuk para wartawan dan pemuda pergerakan yang berada di kantor berita Antara. Namun, beberapa wartawan mendatangi kantor Komite Nasional dan Kantor Keresidenan Surabaya, menanyakan tentang sikap pemerintah dengan adanya bendera Belanda di atas hotel Yamato. Pejabat di dua kantor itu mengaku belum tahu.

Residen Sudirman dengan beberapa pejabat, di antaranya walikota Surabaya waktu itu, Radjamin Nasution dan Cak Ruslan (Roeslan Abdulgani, tokoh pemuda waktu itu), bersama beberapa wartawan, termasuk saya dan Sutomo (Bung Tomo), kata Wiwiek Hidayat, segera mendatangi hotel Yamato. Kepada perwakilan Sekutu yang ada di sana, Pak Dirman – panggilan akrab Residen Soedirman – minta agar bendera Belanda itu diturunkan. Saat rombongan Residen Sudirman masuk ke halaman hotel, di sepanjang Jalan Tunjungan, massa sudah ramai.

Kepada perwakilan Sekutu itu dikatakan bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Namun, pihak sekutu menolak menurunkan bendera Belanda itu. Mereka menjawab, dalam Perang Dunia II itu yang menang adalah Sekutu, di dalamnya termasuk Belanda, sehingga tidak ada alasan untuk menurunkan bendera Belanda itu.

Ploegman Tewas

Rupanya perwakilan Sekutu itu adalah orang Belanda, bahkan dengan sombongnya ia mengacungkan pistol ke arah Pak Dirman. Saat itu, kata Wiwiek, seorang pemuda menendang pistol yang diacungkan pria kulit putih itu. Terjadi perkelahian dan saling keroyok antara bule-bule dengan pemuda yang datang menyerbu masuk ke halaman hotel. Tauran (perkelahian massal) tak dapat dihindarkan. Apa saja yang ada saat itu dipergunakan jadi senjata. Ada kayu, batu, botol minuman dan ada seorang polisi menggunakan pedang. Ada yang mengangkat sepeda dan dilemparkan ke tengah massa.

Suasana hirukpikuk ini tambah seru, tatkala massa berdatangan dari arah utara dan selatan. Ada yang naik truk dan juga ada yang dengan trem. Yang naik trem listrik itu adalah orang hukuman yang dilepaskan dari penjara oleh Pemuda DKA (Djawatan Kereta Api – sekarang PT.KAI atau Kereta Api Indonesia). Massa menyerbu masuk sampai ke dalam hotel. Sementara itu di luar beberapa orang membawa tangga dan naik ke atas gedung. Ada enam atau tujuh tangga bambu yang disebut ondo itu dibawa warga dari kampung Ketandan dan kampung Kebangsren. Dengan ondo itu, anak-anak muda berjuang memanjat ke atas, hingga akhirnya bendera Belanda itupun diturunkan, namun sertamerta warna biru dari bendera itu dirobek, lalu dwiwarna yang tersisa kembali menjulang di angkasa. Kain warna biru digulung dan dilemparkan ke bawah. Teriakan “Merdeka…!, merdeka! sembari mengepalkan tangan saling bersahutan.

Waktu itu, memang di depan hotel ada serdadu Kempetai (tentara Jepang) yang menjaga dengan senapan dan sangkur terhunus. Namun melihat suasana massa, serdadu Jepang itu hanya diam berbaris, tidak berani melepaskan tembakan.

Dari insiden ini empat pemuda menjadi korban luka berat. Mereka, adalah Sidik, Hariono, S.Mulyadi dan Mulyono. Mereka dilarikan ke rumah sakit Simpang (sekarang sudah tidak ada, di tempat itu kini berdiri gedung Medan Merdeka, Bursa Efek Surabaya (BES), Bank Mandiri dan Plaza Surabaya. Sedangkan korban di pihak Belanda, adalah Ploegman. Ia tewas akibat tusukan senjata tajam.

Pekik Merdeka

Pekik merdeka tiada hentinya berkumandang dalam setiap pertemuan. Ulah anak-anak Indo Belanda yang datang ke Surabaya mempersiapkan kedatangan pasukan Sekutu yang ditugasi melucuti senjata serdadu Jepang, memancing kemarahan warga Kota Surabaya.

Rakyat, terutama para pemuda menyadari, sejak saat itu kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, belum aman. Gejala pihak Belanda ingin menjajah kembali mulai terlihat. Untuk mempertahankan tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia di Surabaya, diperlukan senjata dan alat angkutan untuk bergerak cepat. Itulah sebabnya pemuda dan anak-anak kampung di Surabaya melakukan perampasan terhadap mobil-mobil Jepang yang lewat. Bahkan, mereka tidak segan-segan menempelkan kertas merah-putih di kaca-kaca mobil pembesar Jepang.

Tidak jarang, setelah mobil-mobil ditempeli kertas merah-putih, mobil itu diambilalih. Sebelum tentara Sekutu melucuti senjata serdadu Jepang itu, para pemuda Surabaya sudah mendahuluinya. Perampasan senjata juga dilakukan di markas dan gudang-gudang Kempetai.

Memanasnya kemelut setelah insiden bendera di Hotel Yamato, mendorong para pimpinan pemuda untuk melakukan koordinasi. Dua hari kemudian, tanggal 21 September, setelah berlangsung rapat KNID (Komita Nasional Indonesia Daerah) di GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan, terbentuklah badan perjuangan yang diberi nama PRI (Pemuda Republik Indonesia).

Dalam rapat PRI disepakati, bahwa PRI adalah organisasi yang tidak memandang perbedaan paham dan golongan. Rapat juga membicarakan berbagai taktik dan cara menghadapi tentara Sekutu yang datang melucuti serdadu Jepang. Roeslan Abdul Gani alias Cak Roes dalam rapat itu mengobarkan semangat juang para pemuda. Cak Roes juga menanamkan rasa permusuhan terhadap tentara Sekutu.

Sebagai langkah awal koordinasi, disusun pengurus PRI dengan ketua: Sumarsono dengan dua wakil ketua: Krissubanu dan Koesnadi. Penulis I dan II, masing-masing: Bambang Kaslan dan Roeslan Effendi, serta bendaharanya: Nn.Supijah. Markas PRI berada di Wilhelmina Princesslaan (sekarang bernama Jalan Tidar) Surabaya. Namun, pada tanggal 4 Oktober 1945, markas PRI ini dipindah ke gedung Simpang Societeit (sekarang bernama Balai Pemuda) di Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya.

Terjadinya pengambilalihan kekuasaan dari tangan penguasaan Jepang di berbagai instansi, di bulan September 1945 itu menambah semangat persatuan di kalangan pemuda. Sampai-sampai begitu semangatnya, di Surabaya muncul poster-poster dengan tulisan: 1 Oktober 1945 akan menjadi “hari pembantaian anjing-anjing Jepang”. Poster itu disebarkan ke mana-mana, kebanyak oleh anggota PRI. Di samping itu, berita dari mulutu ke mulut menjalar ke seantero kota.

Melihat adanya gejala “akan main hakim sendiri”, maka pimpinan PRI dan tokoh pemerintahan, serta anggota KNID, melakukan rapat. Disusunlah strategi jitu untuk melakukan penyerangan ke markas Kempetai dan markas-markas Angkatan Laut Jepang di Jalan Embong Wungu, markas Angkatan Darat Jepang di Jalan Darmo, Gungungsari, Sawahan dan lain-lain.

Penyerangan dikordinasikan oleh PRI bersama BKR (Badan Keamanan Rakyat), serta Polisi Istimewa. Saat terjadi penyerangan 1 Oktober 1945, korban berjatuhan dari ke dua belah pihak. Puluhan orang serdadu Jepang terbunuh dan ratusan orang lainnya digiring masuk penjara dan kamp tahanan.

Pihak Jepang di Surabaya akhirnya menyatakan menyerah kepada pimpinan pemerintahan daerah di Surabaya tanggal 2 Oktober 1945. Panglima Divisi tentara Jepang Jawa Timur, Jenderal Iwabe, memerintahkan seluruh serdadu Jepang untuk menyerah kepada BKR, sekaligus menyerahkan seluruh senjata dan gudang-gudangnya. Sebaliknya, pihak Indonesia, menyanggupi untuk menjaga keamanan semua orang Jepang. Penyerahan kekuasaan oleh Jenderal Iwabe ini kemudian diikuti pula oleh Laksamana Laut Shibata, 7 Oktober 1945.

Dekrit

Setelah berhasil mencapai kemenangan, Pemerintah Keresidenan Surabaya mengeluarkan “Dekrit” atas nama Pemerintah Republik Indonesia yang berisi enam pasal. Maksud dekrit itu untuk menggalang kekuasaan lebih lanjut di bawah pengawasan BKR. KNID juga mengeluarkan seruan agar rakyat mematuhi semua komando dari BKR.

Residen Sudirman kemudian membentuk komite pelaksana untuk membantu pemerintah keresidenan. Anggota komite pelaksana, selain dari KNID, juga masuk pimpinan buruh, Syamsu Harya Udaya dan ketua PRI, Sumarsono.

Markas Besar PRI di Balai Pemuda, benar-benar menjadi pusat kegiatan dan koordinasi antar pemuda Surabaya. PRI dengan cepat berkembang dengan dibentuknya PRI lokal di kampung-kampung. Kemudian diresmikan pula enam cabang, masing-masing: Cabang Kampement (Jalan Sunan Giri), Sidodadi, Ketabang, Bubutan, Kaliasin dan Darmo. Dari enam cabang itu, kemudian diubah menjadi tiga pusat, yakni: PRI Utara, PRI Tengah dan PRI Selatan.

PRI Surabaya di waktu itu merupakan laskar yang kuat dan popular. Kekuatannya, hampir sama dengan kekuatan TKR di Surabaya. Kegiatan menonjol yang menjadi cacatan sejarah yang dilakukan PRI, antara lain: terlibat langsung dalam peristiwas pembunuhan yang terjadi di kamp tawanan Jepang di Jalan Bubutan (Koblen). Selain itu juga ikut terlibat dalam peristiwa penggeledahan kantor RAPWI (Recovery of Allied Prisoners and War Internees) di Hotel Yamato, kantor NICA (Nedherlands Indies Civil Administration), serta beberapa rumah milik orang-orang Eropa di Surabaya.

Dari penggeledahan yang dilaksanakan 11 Oktober 1945 itu, ditemukan banyak bukti yang berhubungan dengan rencana penyerangan pihak Sekutu ke Indonesia. Saat penggeledahan itu juga dilakukan penyitaan terhadap alat komunikasi, perta dan dokumen yang merupakan kerja intelejen dan mata-mata. Dari temuan itu, tekad bulat pemuda untuk mempermalukan kedatangan armada Sekutu yang bekal mendarat di Tanjung Perak Surabaya, sudah semakin bulat. Bahkan di dalam kota, kegiatan pemboikotan pasokan makanan untuk orang Eropa, khususnya Belanda Indo.

Tanggal 12 Oktober 1945, merupakan hari bersejarah bagi Bung Tomo (Sutomo) dan kawan-kawannya. Pada hari itu, bertempat di rumah Jalan Biliton No.7 disepakati lahirnya sebuah organisasi bersenjata bernama “Pimpinan Pemberontakan Rakyat Surabaya” (PPRS). Para pelopor pemberontakan harus berani bertanggungjawab sepenuhnya seandainya digempur dan dikalahkan oleh Inggris dan sekutunya. Para pelaku pertemuan itu, dalam buku Laporan Survey Sejarah Kepahlawanan Kota Surabaya, adalah: Sutomo (Bung Tomo), Soemarno, Asmanu, Abdullah, Atmadji, Sudjarwo, Suluh Hangsono dan beberapa pemuda lainnya.

Bung Tomo mengatakan, PPRS yang kemudian diubah menjadi BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia), adalah organisasi pemuda yang sedikit teratur dan mengambil bagian terpenting dalam peran Surabaya. Organisasi ini tidak mempunyai afiliasi politik yang resmi, tetapi memiliki beberapa stasiun radio dan mengemudikan beberapa stasiun radio.

Setelah BPRI terbentuk, kegiatan pemuda bersenjata semakin teratur dan terkendali. Kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya mulai terbangun. Masing-masing kelompok membagi dan menentukan wailayah operasinya.

Tidak hanya di darat, kekuatan pemuda mulai bersatu. Setelah Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu, para pemuda Indonesia yang berada di kapal, juga melakukan kegiatan. Operasi laut pertama kali dilakukan ke Pulau Nyamukan (Djamuan Riff) yang terletak beberapa mil dari dermaga Ujung, Surabaya. Dari operasi tanggal 14 Oktober 1945 di laut itu berhasil diperoleh surat perintah menyerah dari Kaigun Saiko Sjikikan (Komandan Tertinggi Angkatan Laut Jepang di Surabaya), Laksamana Sjibata.

Unsur laut yang terlibat dalam operasi itu antara lain: TKR Laut, MKR dan PHL. Dengan menggunakan kapal perang tipe pemburu kapal selam (Submerine Chaser) S-115 yang diambilalih dari tangan Kaigun Jepang, 7 Oktober 1945. Sebagai komandan kapal diangkat Dento dengan kepala kamar mesin, Kunto serta kepala persenjataan, Gimo. Sebagi pimpinan operasi bertindak Atmadji yang juga pimpinan MKR Surabaya. Dalam operasi itu ikut ula Moch.Afandi, ketua umum PAL (Penataran Angkatan Laut) Gunadi dan beberapa pimpinan TKR Laut.

Dalam operasi laut itu, kapal S-115 yeng menggunakan bendera Merah Putih itu, berhasil menggiring 34 buah barkas pendarat (Daihatsu) dari Pulau Nyamukan yang mengangkut 419 orang tentara laut Jepang. Operasi tanpa pertumpahan darah itu tiba di dermaga Ujung malam hari. Selain menawan ke 419 orang tentara laut Jepang itu, TKR Laut juga menyita 34 barkas pendarat, 217 senapan karabyn, 22 senapan mesin dan beberapa peti granat, serta amunisi.

Peristiwa yang merupakan prestasi besar ini tersebar dengan cepat, berkat siaran radio BPRI dan siaran radio Surabaya yang disampaikan dalam amanat Drg.Moestopo.

Menjelang kedatangan pasukan Inggris dengan bendera Sekutu itu, terjadi berbagai ekses. Setiap warga Belanda dan Indo laki-laki dan remaja usia di atas 16 tahun ditangkapi oleh anggota PRI. Mereka dijemput di asrama dan rumah-rumah dengan menggunakan truk. Dari pagi hingga petang pada tanggal 15 Oktober 1945, sebanyak 3.500 orang dimasukkan ke penjara Kalisosok Surabaya.

Gerakan pemuda di Surabaya semakin panas, apalagi dengan terjadinya pertempuran antara pihak Indonesia dengan pihak militer Jepang di Semarang. Peristiwa lima hari 15 sampai 20 Oktober di Jawa Tengah itu membuat se bagian pemuda Surabaya yang “dendam” terhadap perlakuan Jepang sebelumnya berupaya melakukan tindakan balasan. Spanduk dan selebaran yang berasal dari Semarang membuat darah Arek Suroboyo mendidih. Isinya: “Singkirkan Jepang, sebelum mereka membantai kita di Surabaya!”.

Hampir tiap hari di depan penjara Koblen tempat serdadu Jepang ditahan, selalu ramai oleh kerumunan anak muda. Mereka berteriak-teriak agar orang-orang Jepang yang ada di dalam penjara dikeluarkan. Beberapa di antara orang Jepang yang berhasil dikeluarga langsung dieksekusi mati. Para pemimpin pemuda pergerakan bersama TKR dan KNIP berusaha mencegah tindakan main hakim sendiri.

Suasana kemudian beralih kepada makin dekatnya jadwal pendaratan tentara Sekutu di Surabaya. Akhirnya, tanggal 25 Oktober 1945, tentara Sekutu yang didominasi tentara Inggris mendarat di Tanjung Perak dengan kekuatan satu brigade. Pasukan yang berjumlah 6.000 orang ini terdiri dari Brigade Infantri 49 dari divisi India ke-23 , di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby.

Armada kapal yang merapat di dermaga itu itu terdiri dari kapal transport bernama: “Wavenley”, “Mlaika”, “Assidios”, “Floristan” dan beberapa kapal lagi yang dilindungi oleh kapal perang Inggris.


Arek Surabaya Marah

Diultimatum Sekutu


Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

BERDASARKAN kesepakatan 26 Oktober 1945, Pemerintah Indonesia di Surabaya mengizinkan pihak Inggris mengunjungi kamp penampungan (interniran) Belanda dan tawanan Jepang di berbagai tempat, besoknya 27 Oktober 1945..

Namun para tokoh pemuda di Surabaya benar-benar kecewa dan marah atas sikap Tentara Sekutu. Sebab, siang itu ada pesawat terbang Inggris terbang di atas udara kota Surabaya. Dari pintu pesawat terbang itu disebarkan kertas berupa pamflet yang berisi ancaman bersifat ultimatum.

Selebaran itu berbunyi:

“Memerintahkan kepada seluruh rakyat, penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali senjata dan peralatan perang Jepang kepada tentara Sekutu (Inggris). Semua orang yang memegang senjata dan yang tidak bersedia menyerahkan kepada Sekutu, akan ditembak di tempat. Batas waktu penyerahan, pukul 18.00 tanggal 28 Oktober 1945.”

Setelah membaca selebaran yang berupa ancaman itu, Drg.Mustopo bersama Residen Sudirman yang didampingi tokoh-tokoh Surabaya melakukan kontak dengan Brigjen Mallaby. Kemudian berlangsung pertemuan antara pukuk 12.00 hingga 15.00. Residen Sudirman mengingatkan kepada Mallaby, agar menghentikan penyebaran pamflet itu. Ternyata Mallaby sendiri terkejut dengan adanya selebaran itu. Ia mengatakan, bahwa selebaran itu mungkin dilakukan atas perintah atasannya dari Jakarta.

Kepada Mallaby diingatkan, bahwa isi selebaran itu tidak sesuai dengan isi persetujuan 26 Oktober 1945. Tetapi Mallaby kemudian menjawab, kalau itu merupakan perintah atasannya dari Jakarta, sebagai militer ia harus menaatinya.

Suhu politik di Surabaya memanas. Situasi makin mencekam. Sekutu mulai betindak sewenang-wenang. Mereka menangkapi rakyat yang mereka curigai. Akibatnya, pimpinan BKR, PRI, BPRI, Polisi dan Polisi Istimewa tersentak. Tindakan tentara Inggris telah melewati batas. Demi kehormatan bangsa Indonesia yang sudah merdeka, semua itu tidak bisa dibiarkan. “Kita harus bertindak!”, ujar para pimpinan pejuang di Surabaya.

Malamnya para pejuang Arek Suroboyo melakukan perundingan dan langkah yang akan dilakukan apabila sikap Inggris yang melanggar perjanjian itu.

Benar saja, besoknya, 28 Oktober 1945, pagi hari beberapa orang tentara Inggris menghadang kendaraan bermotor dan senjata yang dipegang para pemuda di jalanan. Pasukan Sekutu juga melakukan gerakan penyerbuan ke berbagai instansi vital. Di antaranta ke kantor Jawatan Kereta Api, kantor telepon dan telegrap, Rumah Sakit Darmo dan beberapa gedung kantor instansi vital lainnya.

Pukul 11.00 (siangnya), Mustopo datang ke markas PRI di Balai Pemuda. Ia memberitahu tentang sudah siapnya tentara Sekutu melucuti senjata secara paksa yang berada di tangan pemuda dan pejuang. Para pemuda yang berada di markas PRI benar-benar marah oleh sikap Sekutu yang mengingkari perjanjian yang sudah dibuat.

Siang itu juga para pimpinan pejuang melakukan konsolidasi. Polisi Istimewa sebagai kekuatan bersenjata dan terlatih juga langsung melakukan dengan rakyat yang sudah memegang senjata. Kontak antarkomponen pejuang berjalan terus.

Pimpinan BPRI Bung Tomo yang berada di markasnya juga sudah mendapat kontak dari PRI. Sorenya diadakan pertemuan dengan pimpinan drg.Mustopo. Disepakati, bahwa gerakan Sekutu (Inggris) “harus dilawan”.

Bersamaan dengan ini, polisi di bawah pimpinan Komandan Polisi Sahoed Prawirodirdjo dan Komandan Polisi Soekardi, seta Agen Polisi Kadam dengan menggunakan sepedamotor Zyspan Harley Davidson melakukan konsinyasi pasukan di Kantor Besar Polisi dan mendatangi beberapa asrama polisi.

Sekembalinya dari asrama polisi Kebalen, ketika melewati Jalan Rajawali pukul 17.00, yakni satu jam sebelum batas waktu ultimatum yang disebutkan dalam pamflet, tiga polisi ini dihadang. Sahoed, Soekardi dan Kadam digiring ke arah lapangan terbang di Tanjung Perak. Pihak Sekutu melepaskan tembakan, akibatnya mereka terluka tembak.

P impinan Palang Merah segera menyelamatkan ke tiga polisi itu. Petugas Palang Merah juga memberitahu kepada radio Pemberontak di Surabaya melalui telepon, bahwa ada tiga Polisi Istimewa ditembak Sekutu. Saat itu juga Bung Tomo melalui pemancar radio BPRI tiada henti memperingatkan dan memerintahkan seluruh rakyat Surabaya untuk mulai melakukan serangan terhadap tentara Inggris.

Dalam siaran radio yang berapi-api itu Bung Tomo menyebut nama ke tiga anggota Polisi Istimewa yang tertembak itu. “Mereka bertiga adalah korban kebrutalan Sekutu-Inggris”, ujar Bung Tomo.

Diperoleh pula laporan, di waktu yang sama juga terjadi insiden provokatif. Tentara Inggris menghentikan truk yang ditumpangi para pemuda, lalu mereka melucuti senjata yang mereka bawa. Agaknya Inggris memandang enteng para pemuda yang berasal dari TKR, PRI, BPRI, PI (Polisi Istimewa) dan rakyat pejuang lainnya.

Mayat Bergelimpangan

Malamnya situasi kota Surabaya benar-benar mencekam. Maut membayangi dari balik gedung, rumah dan dari gang-gang permukiman. Tidak sedikit yang terluka bahkan menemui ajalnya akibat terkena tembakan, ujung pisau, pedang, celurit, bambu runcing dan sangkur. Markas tentara Inggris diserbu rakyat tanpa memikirkan akibat yang fatal. Mayat bergelimpangan di daerah Darmo, Ketabang, Gubeng, sekitar gedung Internatio dan kawasan Tanjung Perak.

Selain pasukan TKR, para pemuda pejuang dan rakyat yang sudah memegang senjata rampasan, Komandan PI Surabaya Soetjipto Danoekoesoemo mengirim pasukannya yang dilengkapi senjata berat watermantel, tank dan panser. Surabaya benar-benar dilanda prahara. Api perang berkobar. Korban berjatuhan dari ke dua belah pihak, Inggris dan rakyat Surabaya.

Kendati mayat bergelimpangan akibat tembakan, semangat perjuangan makin membara. Rakyat tidak menghitung korban. Mati satu datang seribu. Bagai banteng terluka rakyat mengamuk.

Ben Anderson dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1988), menyebutkan para pemuda yang melakukan penyerbuan ke berbagai markas pasukan Sekutu-Inggris itu mencapai 12 ribu orang. Pejuang Indonesia bertempur dengan fanatik tanpa mempedulikan jumlah korban yang jatuh. Pasukan Inggris meskipun mempunyai perlengkapan senjata berat dan tank-tank terancam oleh kehancuran.

Selain pos-pos pertahanan mereka terkepung, di daerah pelabuhan mereka harus mundur. Lapangan terbang Morokrembangan dapat direbut para pemuda pejuang. Beberapa gedung, seperti gedung Internatio, gedung BPM dan gedung Lindetives juga dikepung.

Soekarno-Hatta Datang

Dalam keadaan gawat, terdesak dan terkepung oleh rakyat pejuang itu, pimpinan pasukan Inggris di Surabaya minta bantuan “juru selamat”. Akhirnya, didatangkanlah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dari Jakarta. Ikut pula dalam rombongan itu, Mayor Jenderal Hawthorn.

Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin dan Mayjen Hawthorn mendarat di bandara Morokrembangan pukul 11.45 pada tanggal 29 Oktober 1945. Pembesar bangsa Indonesia dan Sekutu ini juga mengikutkan beberapa wartawan ibukota dan wartawan asing. Mereka disambut para tokoh pejuang Surabaya, juga Brigjen Mallaby, Kolonel Pugh bersama perwira staf lainnya. Rombongan langsung menuju kantor gubernur Jatim dan diterima langsung oleh Gubernur Jatim, Suryo. Di kantor gubernur jatim ini dilangsungkan perundingan.

Dr.Roeslan Abdulgani dalam bukunya “100 Hari di Surabaya”, terbitan Yayasan Idayu, Jakarta (1975) menulis bahwa ada empat masalah pokok yang disimpulkan dalam perundingan itu. Perundingan berakhir pukul 19.30 malam itu. Hasil kesepakatan itu langsung diumumkan oleh Presiden Soekarno melalui Radio Surabaya. ***


Brigadir Jenderal Mallaby “Gugur” Sebagai Pahlawan Tentara Sekutu
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)


HARI Selasa, 30 Oktober 1945. Menjelang sore, kontak senjata masih terjadi antara pejuang yang dikenal dengan sebutan “arek-arek Suroboyo” melawan tentara Sekutu. Beberapa kali masih terdengar suara tembakan dari gedung Internatio ke arah pejuang yang berada di sekitar Jembatan Merah. Para pejuang sudah bersabar, Namun berusaha mengendalikan diri untuk tidak membalas tembakan dari Sekutu itu.

Biro-kontak sedang menyiapkan utusan dari pihak Inggris yang akan memerintahkan penghentian penembakan dari gedung Internatio oleh pasukan Sekutu itu.

Semula, Brigjen Mallaby sendiri yang menyanggupi untuk masuk ke dalam gedung. Tetapi anggota biro-kontak ada yang ragu. Ketika itu, para pejuang kita tidak percaya begitu saja kepada Sekutu-Inggris. Sebab kelicikan mereka sudah berulangkali terjadi. Sudah tiga kali dilakukan perjanjian, tiga kali pula pihak Inggris melakukan pelanggaran.

Moncong senjata masih terlihat dari lobang jeruji dinding gedung Internatio mengarah ke luar. Sewaktu-waktu dari moncong senapan itu dimuntahkan peluru yang mengarah kepada anak bangsa di Bumi Surabaya. Ketika itu anak-anak muda dari kampung-kampung Surabaya benar-benar siap tempur berada di sekitar gedung Internatio. Gedung kuno itu sudah dikepung dari segala arah.

Dengan semangat “bonek” (bondho nekad – modal semangat), ada yang menggunakan bambu runcing, senjata rampasan dari serdadu Jepang, ada juga yang membawa gobang, parang dan segala macam senjata tajam, termasuk clurit. Mereka ini menunggu komando. Apabila ada perintah, pasti mereka akan membabibuta menyerbu pasukan bersenjata di dalam gedung Internatio.

Di dalam gedung, pasukan Inggris khawatir diserbu. Sementara dari luar gedung, para pemuda juga was-was ditembak tentara Sekutu dari dalam gedung.

Saat rombongan biro-kontak berjalan di dekat gedung itu, kelihatan moncong senjata bergerak ke arah anggota biro-kontak dari Indonesia. Keberadaan Mallaby di sini diperlukan sebagai perisai – semacam tameng agar bisa mengerem kebrutalan tentara Inggris.

Ketika dilangsungkan perundingan kilat biro-kontak di pinggir jalan, diputuskan anggota biro-kontak yang akan diutus masuk ke dalam gedung, adalah Kapten Shaw.

Di antara pemuda yang ikut menyaksikan perundingan itu berteriak, “jangan yang tua Pak, suruh yang muda saja…!”. Maksudnya, jangan Mallaby yang, tetapi perwira yang muda saja. Akhirnya, memang Kapten Shaw yang diutus.

Kapten Shaw didampingi Moehamad, kemudian sebagai jurubahasa ikut TD Kundan (warganegara keturunan India yang ikut berjuang bersama Arek Suroboyo). Mereka bertiga berjalan bersama-sama menuju gedung Internatio.

“Jangan lama-lama ya! Cukup sepuluh menit saja menyampaikan perintah”, ujar Residen Soedirman. Moehammad mengangguk sembari berjalan menuju gedung Internatio.

Saat ke tiga orang ini berjalan menuju ke dalam gedung, Mallaby menunggu di dalam mobilnya. Ia didampingi Kapten Smith dan Kapten Laughland.

Gugur atau Tewas?

Mobil pimpinan tertinggi tentara Sekutu di Surabaya ini berhenti persis di bawah baliho besar yang memajang gambar bendera merah putih. Di atas gambar sangsaka merah putih itu tertulis dengan huruf kapital ONCE AND FOREVER dan di bawahnya tertulis THE INDONESIAN REPUBLIC.

Foto mobil sedan Fiat dengan latar belakang baliho itu diabadikan fotografer IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) – kelompok wartawan foto pimpinan W.Mendur yang banyak mengabadikan perjuangan rakyat Indonesia dan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI, serta peristiwa bersejarah lainnya.

Mobil rombongan biro-kontak – kecuali mobil yang ditumpangi Moehamad – bergerak perlahan dan berhenti di tikungan dekat tempat parkir pinggir sungai Jalan Jembatan Merah. Di sini rombongan biro-kontak menunggu kembalinye ke tiga utusan yang masuk ke dalam gedung.

Sepuluh menit berlalu. TD Kundan keluar sendirian. Di depan pintu ia berteriak, “Kapten Shaw dan Moehamad masih memerlukan beberapa menit lagi”. Kemudian Kundan kembali masuk ke dalam gedung.

“Buuummmmmmmm”, bunyi geranat yang dilemparkan dari dalam gedung menggelegar di depan gedung, tidak jauh dari pintu masuk tempat Kundan berteriak sebelumnya. Suara geranat ini kemudian diiringi tembakan gencar dari lantai bawah gedung, kemudian juga menyusul dari lantai atas. Tembakan tertuju ke arah rombongan biro-kontak dan para pemuda yang berada di tanah lapang dan jalan di depan gedung Internatio.

Beberapa orang berteriak dan mengerang akibat terkena tembakan. Ada yang langsung tiarap dan ada yang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri ke balik gedung lain di sekitar Jembatan Merah. Di antaranya ada yang tergeletak, gugur akibat tembakan serdadu Inggris.

Terjadi kekacauan, semua berusaha menyelamatkan diri. Rombongan biro-kontak juga berhamburan mencari perlindungan. Ada yang melompat ke pinggir sungai Kalimas di bawah Jembatan Merah.

Soengkono, Doel Arnowo, Dr.Moersito, Koesnandar dan Roeslan Abdulgani merangkak menuju pinggir sungai Kalimas yang airnya sedang surut. Desingan peluru dari arah gedung Internatio masih terdengar .

Melihat kebrutalan tentara Inggris itu, beberapa pemuda yang berasenjata dan membawa granat melakukan perlawanan. Di antara mereka, adalah Soetjipto Danoekusumo, komandan Polisi Istimewa (PI). Pasukan PI yang sudah terlatih itu memberi perlindungan kepada Residen Soedirman dan anggota biro kontak.

Residen Soedirman yang dilindungi pemuda dan PI berhasil menyeberang Jembatan Merah menuju Jalan Kembang Jepun dan terus menyelamatkan sampai ke kediamannya.

Mallaby bertahan di dalam mobil sedan hitam yang ditumpanginya. Namun mobil komandan Sekutu itupun tidak lepas dari sasaran tembakan. Bahkan, kemudian mobil itu meledak dengan dahsyat. Tembak-menembak semakin seru. Surabaya terus membara.

Soetjipto bergabung dengan anggota biro-kontak yang juga tokoh pejuang yang berada di pinggir Kalimas. Saat itu, seorang pemuda melompat mendekati Roeslan Abdulgani dan Doel Arnowo.

“Cak, sudah beres Cak!” Bisik seorang anak muda. “Apa yang sudah beres?” tanya Doel Arnowo kepada anak muda yang sudah dikenalnya itu.

“Jenderal Inggris, Cak! Mobilnya meledak dan terbakar”, jawab anak muda itu,

“Siapa yang meledakkan?” tanya Doel Arnowo lagi. Anak muda itu menunjuk dirinya. Melihat pandangan dan kerdipan mata Doel Arnowo yang seolah-olah mengatakan jangan mengaku, kemudian anak muda itu mengatakan, “tidak tahu Cak”.

Semua yang mendengar laporan anak muda kepada Doel Arnowo itu terkejut dan hanya terdiam.

“Ya sudah, diam saja. Jangan cerita kepada orang lain,” pesan anggota biro-kontak yang lainnya.

Memang, sebelum anak muda itu melompat ke pinggir sungai Kalimas mendekat anggota biro-kontak, terdengar tembakan dan bunyi ledakan di deretan mobil yang parkir.

Itulah sebuah cuplikan dialog catatan sejarah yang mengisahkan “tewasnya” Brigjen Mallaby di Surabaya. Ia dinyatakan “gugur” sebagai pahlawan tentara Sekutu. Tetapi, bangsa Indonesia, menyebut ia tewas.



Dibawa Mati

Sampai di hari tuanya, hingga kemudian wafat, Doel Arnowo tidak mau menyebut nama anak muda yang mengaku menggranat mobil Mallaby itu. Penulis pernah berulangkali menanyakan langsung kepada Cak Doel Arnowo, saat masa tuanya yang secara kebetulan sering dan mudah berkomunikasi dengan penulis.

Bahkan saat bertanya kepada cak Doel yang mantan walikota Surabaya ini, penulis pernah didampingi anaknya Rahmat, namun almarhum Doel Arnowo tetap tidak mau menyebut nama anak muda yang “mengaku” meledakkan mobil Mallaby itu. “Biarlah, tidak usah disebarluaskan, karena ini menyangkut masalah hukum perang, hukum internasional ”, kata Cak Doel Arnowo kepada penulis yang waktu itu sebagai wartawan dan wakil pemimpin redaksi Harian “Radar Kota” Surabaya.

Memang, Cak Doel benar-benar menyimpan rahasia itu hingga akhir hayatnya. Tidak seorangpun yang tahu, siapa nama pemuda yang telah melempar granat ke mobil Mallaby itu. Rahasia itu dibawa mati oleh Cak Doel Arnowo.

Bung Tomo melalui siaran radio Pemberontak menyiarkan tentang terulangnya kontak senjata di sekitar gedung Internatio. Bung Tomo menyebutkan, banyak pejuang yang terluka dan gugur akibat kebrutalan tentara Inggris. Bahkan, sekarang Moehamad dan TD Kundan terjebak di dalam gedung. Nasibnya belum jelas.

Mendengar siaran radio itu, ambulans berdatangan ke arah Jembatan Merah. Petugas Palang Merah memberi bantuan dan melarikan mereka yang terluka ke rumahsakit. Raungan serine ambulans ini membuat para tentara Inggris di dalam gedung menghentikan tembakan. Dari balik jeruji serdadu Sekutu itu menonton anggota Palang Merah yang memberi bantuan.

Beberapa anggota biro-kontak naik ke jalan, kemudian menyeberang dan berjalan kaki menuju Hoofdbureau atau kantor besar polisi di Jalan Sikatan – sekarang menjadi gedung Markas Polisi Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya.

Malam ini Surabaya tegang. Para pemuda pejuang mengatur strategi untuk memaksa Inggris meninggalkan gedung Internatio.

Sebaliknya pihak Inggris atau Sekutu, benar-benar marah setelah mendapat informasi tewasnya Mallaby. Para pembesar Sekutu di Jakarta betul-betul terpukul. Sebagai pemenang Perang Dunia II, belum pernah ada jenderal yang terluka. Di Surabaya, justru tewas akibat ledakan geranat. Dunia gempar. Perhatian kemudian tertuju kepada Indonesia, khususnya Surabaya. ***