Tulisan menarik untuk memahami krisis keuangan diambil dari :
http://janganserakah.com/2008/07/25/krisis-kredit-amerika/
Untuk memahami Credit Crisis yang sedang berlangsung di saat ini maka ada baiknya pertama-tama kita memahami dulu tentang bank dan ‘cara kerja’nya. Apa itu Bank? Meskipun Bank sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari, mungkin hanya sebagian dari teman-teman pembaca blog ini yang menyadari bahwa sebuah Bank, pada ‘intinya’ merupakan suatu usaha penyewaan/rental. Pertanyaan natural yang timbul berikutnya adalah : ‘Apa yang mereka sewakan?’. Jawabannya adalah : Uang.
Meskipun pada zaman sekarang, kebanyakan bank menjalankan beberapa ‘kegiatan’ lain yang bisa menghasilkan keuntungan, pada awalnya Bank lahir dari ‘kegiatan sewa-menyewa’ uang (dan hingga kini pun, mayoritas bank tetap mengandalkan ’sewa-menyewa’ uang ini untuk mendapatkan keuntungannya). Dalam hal ini, bank akan ‘menyewa’ uang dari pihak yang memiliki uang yang tidak terpakai, dan lalu uang itu ‘disewakan’ kepada pihak yang membutuhkan uang. ‘Biaya sewa’ uang ini yang lalu kita kenal dalam kehidupan sehari-hari sebagai ‘Bunga’/interest.
Satu aspek yang menarik dari operasi ’sewa-menyewa uang’ yang dilakukan Bank, adalah adanya Gap/kesenjangan dalam kegiatan ’sewa-menyewa uang’ ini. Apa Gap/kesenjangan yang saya maksud ini?
Umumnya ketika bank ‘menyewa’ uang dari masyarakat, sewa yang mereka lakukan bersifat jangka pendek. Sebagai contoh, kita lihat ‘tabungan’. Setiap kali kita menabung, yang kita lakukan sebenarnya adalah menyewakan uang kita kepada bank. Tabungan ini sendiri merupakan ’sewa jangka pendek’, karena setiap saat uang tersebut bisa kita tarik (dengan kata lain ‘mengakhiri’ sewa-menyewa tersebut). Sama juga halnya dengan deposito. Deposito juga bersifat ‘jangka pendek’, dan umumnya hanya bertempo 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan hingga 12 bulan.
Sebaliknya, ketika bank ‘menyewakan’ uang tersebut (kepada para pengambil fasilitias kredit), sewa yang mereka lakukan umumnya bersifat jangka panjang. Contohnya kredit otomotif yang biasanya bertempo beberapa tahun, atau juga KPR yang di negara Amerika bisa berjangka hingga 30 tahun.
—–oOo—–
Apa konsekuensi dari kesenjangan ‘menyewa jangka pendek, menyewakan jangka panjang ini‘?
Di satu sisi, akibat kesenjangan ini, bank akan bisa menikmati keuntungan tambahan. Dalam ’sewa-menyewa uang’, semakin lama masa sewa uang, semakin besar resiko yang ditanggung oleh pemilik uang, misalnya saja resiko inflasi, resiko perubahan suku bunga, dll. Akibatnya, ’sewa’ uang jangka panjang akan lebih mahal dibandingkan dengan ’sewa’ uang jangka pendek. Contoh realnya, deposito yang berjangka 1 tahun umumnya akan memberikan bunga yg lebih tinggi daripada deposito 1 bulan. Dengan ‘menyewa jangka pendek dan menyewakan jangka panjang‘, maka berarti bank mendapat keuntungan karena mendapatkan dana dengan ‘murah’, sebaliknya meminjamkan uangnya dengan lebih ‘mahal’.
Di sisi lainnya, kesenjangan ini membuat bank menanggung resiko likuiditas. Ini disebabkan karena pihak yang ‘menyewakan’ uang kepada Bank bisa dengan mudah menarik uangnya dalam jangka waktu yang relatif singkat, sedangkan pihak Bank tidak bisa menarik uang yang ‘disewakannya’ kepada pengambil kredit dengan cepat.
Sebagai ilustrasi sederhana:
Misalkan saja ada 100 orang yang menaruh deposito 3 bulan @Rp 1 milyar di Bank JS. Dengan demikian bank JS berhasil menghimpun dana Rp 100 Milyar. Dalam keadaan normal, besarnya dana ini akan relatif stabil. Akan ada orang yang mencairkan depositonya, tetapi akan ada juga nasabah baru yang membuka deposito di sana.
Oleh bank JS, dana yang terhimpun ini lalu dikucurkan sebagai kredit. Karena ada peraturan perbankan yang dikenal sebagai “Reserve Requirement”, maka dana Rp 100 milyar yang telah dihimpun itu tidak bisa dikucurkan 100% sebagai kredit. Misalkan saja modal yang dihimpun hanya hanya diijinkan untuk dikucurkan 70%, sehingga dalam contoh ini, bank JS hanya bisa mengucurkan kredit sebesar Rp 70 milyar. 30% dana yang dihimpun (Rp 30 Milyar) harus disimpan sebagai cadangan likuiditas.
Oleh Bank JS, dana Rp 70 Milyar lalu dikucurkan sebagai kredit bagi seorang developer properti dengan jangka waktu 5 tahun.
—–oOo—–
Dalam keadaan normal, pengaturan seperti ini tidak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan bahwa bunga deposito itu biasanya sangat kompetitif dan tidak berbeda jauh antar bank, sehingga orang pada umumnya tidak mempunyai insentif yang besar untuk memindah-mindahkan depositonya.
Tetapi kini bayangkan apa yang akan terjadi jika para nasabah kehilangan kepercayaannya kepada Bank JS, misalkan saja karena ada berita bahwa Bank JS mengalami kerugian yang sangat besar akibat kredit macet? Anggaplah misalkan 20% nasabah menarik depositonya sehingga terjadi penarikan dana Rp 20 Milyar. Dalam hal ini Bank JS akan tetap ‘aman’, karena memiliki ‘ban serep’ berupa cadangan likuiditas sebesar Rp 30 Milyar.
Bagaimana jika nasabah yang menarik depositonya mencapai 40%, sehingga dana yang ditarik dalam contoh ini adalah sebesar Rp 40 Milyar? Bank JS akan kerepotan mencari dana itu karena cadangan likuiditas mereka hanya sebesar Rp 30 Milyar. Mereka tidak bisa meminta si pengambil kredit untuk mengembalikan Rp 70 milyar yang mereka pinjam pada saat itu juga, karena memang perjanjian kreditnya adalah utk jangka panjang (dalam hal ini 5 thn). Akibatnya Bank JS pun akan terpaksa mencari pinjaman, misalkan ke bank lain.
Para pembaca blog mungkin bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika tersebar berita bahwa ‘Bank JS harus meminjam ke bank lain untuk membayar deposito nasabahnya‘ dan di Bank JS mulai terlihat antrian para deposan yang ingin menarik depositonya. Kepanikan meluas dan kini semua nasabah bank JS pun bergegas mencairkan depositonya. Pada saat itu, bank-bank lain pun akan was-was untuk meminjamkan uangnya kepada bank JS karena khawatir bank JS akan tumbang dan tidak bisa membayar pinjamannya. Akibatnya, bank JS tidak mempunyai alternatif untuk mendapatkan dana dan malah benar tumbang.
Skenario seperti ini dalam dunia perbankan dikenal sebagai ‘Classic Bank Run‘ dimana kepanikan menimbulkan kepanikan sehingga nasabah suatu bank ‘berebutan’ menarik dananya dari suatu bank hingga akhirnya bank itu tumbang akibat kesulitan likuiditas.
Dalam part pertama artikel ini, saya telah bercerita tentang kesenjangan ‘menyewa jangka pendek, menyewakan jangka panjang‘ yang menimbulkan resiko likuiditas sehingga bisa menyebabkan rontoknya sebuah bank. Kesenjangan ini sendiri kerap disebut sebagai Asset-Liabilities Mismatch. Istilah lain yang juga kerap dipakai untuk menggambarkan kesenjangan ini adalah Duration Gap. Permasalahan Asset-Liabilities Mismatch ini juga yang menjadi penyebab rontoknya perusahaan Bear Sterns bulan Maret lalu.
Dalam operasinya sebelum mereka tumbang, Bear Sterns sangat aktif dalam dunia CDO. Apa itu CDO? CDO adalah suatu obligasi yang berdasarkan kepada suatu Collateralized Debt (instrumen hutang yang terkait dengan suatu barang jaminan/kolateral). Contoh Collateralized Debt misalnya adalah KPR/mortgage. Bagaimana cara kerja CDO ini? Mari kita lihat sebuah ilustrasi sederhana.
Misalkan sebuah bank mempunyai dana yang bisa dikucurkan untuk kredit sebesar Rp 100 Milyar. Dana ini sendiri didapat dari tabungan masyarakat di mana bunga yang harus dibayar oleh bank untuk tabungan ini adalah 5%. Dana ini lalu dikucurkan bank seluruhnya tersebut untuk KPR 30 tahun, dimana dari KPR tersebut bank memperoleh bunga sebesar 9% (sehingga bank mendapat keuntungan 4%). Untuk menyederhanakan contoh ini, kita asumsikan bank tersebut tidak bisa menghimpun dana dari masyarakat lagi sehingga dengan demikian bank tersebut tidak mempunyai dana lagi untuk dikucurkan sebagai kredit. Dalam kondisi ini, bank tersebut mempunyai 2 alternatif :
Alternatif 1:
Bank tersebut memegang semua KPR yang telah dikucurkannya tersebut hingga jatuh tempo (30 tahun lagi). Dengan demikian bank tersebut akan menikmati keuntungan selisih bunga sebesar 4% dari dana Rp 100 Milyar itu selama 30 tahun. Tetapi perlu diingat bahwa dalam alternatif ini, Bank tidak bisa mendapat keuntungan lebih lagi karena seluruh dananya telah dikucurkan untuk kredit ini.
Alternatif 2:
Bank tersebut ‘mengemas’ berbagai KPR itu menjadi suatu obligasi CDO yang lalu dijual kepada para Investor. Untuk membayar bunga obligasi CDO ini, Bank tersebut akan memakai bunga yang diterimanya dari pembayaran bunga berbagai KPR tersebut. Misalkan saja obligasi CDO itu memberikan bunga sebesar 8,5%. Kita asumsikan CDO itu terjual semuanya, maka dengan demikian bank tersebut akan mendapatkan keuntungan selisih bunga hanya sebesar 0,5% dari Rp 100 Milyar. Ini karena dari pembayaran KPR, bank tersebut mendapat 9%, sedangkan yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO hanya 8,5%.
Sekilas ini terlihat lebih kecil daripada keuntungan 4% di alternatif 1. Tetapi perlu diingat bahwa dalam alternatif 2 ini, Bank mendapatkan kembali Rp 100 Milyarnya (hasil dari penjualan CDO). Jika dana ini dikucurkan kembali seluruhnya untuk KPR 30 tahun, maka Bank akan kembali mendapatkan keuntungan selisih bunga 4%. Ditambah dengan hasil 0,5% dari CDO, maka kini keuntungan bank dari Rp 100 Milyarnya mencapai 4,5%. Jika proses ini diulang-ulang (KPR yang dikucurkan lalu dijual lagi dalam bentuk CDO), maka keuntungan Bank akan semakin meningkat.
Dengan melihat ilustrasi di atas, maka kita bisa memahami mengapa Bank begitu gencar memberikan KPR, mengemasnya menjadi CDO, menjual CDO tersebut dan lalu dana hasil penjualan CDO itu kembali dikucurkan sebagai KPR.
—–oOo—–
Ketika pasar CDO ‘mati’ karena pecahnya bubble sektor properti, berbagai institusi keuangan yang selama ini gencar menjalankan operasi semacam di atas pun ‘kelimpungan’. Mereka tidak bisa menjual CDO yang dimilikinya karena tidak ada pembeli yang berminat dan terpaksa ‘memegang’ sendiri KPR dan CDO tersebut di pembukuannya.
Pada kasus Bear Sterns, asset yang dipegang oleh Bear Sterns dalam bentuk KPR subprime maupun CDO sangat besar. Di sini efek ‘beracun’ Asset-Liabilities Mismatch mulai bereaksi. Para kreditor yang selama ini meminjamkan uangnya kepada Bear Sterns pun mulai was-was dan enggan meminjamkan uangnya. Mengapa demikian?
Misalkan saja kita mempunyai dana Rp 100 juta. Seseorang lalu ingin meminjam uang tersebut untuk keperluan usaha. Seandainya kita tahu bahwa orang itu memiliki asset senilai Rp 200 juta dalam bentuk emas batangan, maka kemungkinan besar kita tidak akan khawatir untuk memberikan pinjaman sebesar Rp 100 juta tersebut.
Sekarang kita ganti ilustrasinya. Bagaimana jika ternyata orang itu memiliki asset tetapi asset ini berbentuk koleksi Ikan Lohan yang dibeli oleh orang itu beberapa tahun lalu seharga Rp 200 juta?
Dalam kasus ini, kemungkinan hal yang terpikir oleh kita adalah : ‘Meskipun ikan lohan tersebut dibeli seharga Rp 200 juta, apakah benar sekarang harganya masih Rp 200 juta? Apakah masih ada pasar/market untuk ikan Lohan seharga itu? Jangan-jangan sekarang ikan tersebut hanya bisa dijual Rp 20 juta karena sekarang animo masyarakat terhadap ikan lohan sudah tidak seperti dulu.“
Dengan pertimbangan di atas, maka mungkin kita akan ragu untuk meminjamkan dana sebesar Rp 100 juta kepada orang tersebut. Jika sampai usaha orang itu gagal, maka kita hanya bisa menyita ikan lohannya yang harganya sudah tidak jelas, dan untuk menjualnya pun akan sulit karena pasarnya sudah sangat minim.
Ilustrasi “asset ikan Lohan” di atas menggambarkan suatu kondisi yang dikenal sebagai Mark to Market.
—–oOo—–
Kasus Bear Sterns pun tidak berbeda jauh dengan ilustrasi di atas. Asset CDO yang dimiliki oleh Bear Sterns bisa kita ibaratkan sebagai ‘ikan lohan’. Para kreditor ragu untuk meminjamkan uang kepada Bear Sterns karena mereka merasa bahwa nilai asset total Bear Sterns sudah merosot jauh karena sebagian besar asset Bear Sterns berbentuk ‘ikan Lohan’ (CDO).
Seandainya Bear Sterns tidak mengalami Asset-Liabilities Mismatch, maka problem di atas mungkin tidak akan terlalu parah. Tetapi Bear Sterns dalam operasinya meminjam uang dari kreditornya untuk jangka pendek, dan meminjamkan uang tersebut secara jangka panjang (dalam bentuk KPR). Ketika pinjaman jangka pendek dari para kreditor jatuh tempo, para kreditor tersebut enggan meminjamkan lagi uangnya kepada Bear Sterns. Bear Sterns pun dilanda kesulitan likuiditas, yang seperti kita tahu berujung pada dijualnya Bear Sterns kepada JP Morgan dengan harga ‘obral’.
Secara umum, problem Asset-Liabilities Mismatch memang dialami oleh banyak institusi finansial di Amerika. Sekitar 2 minggu lalu, saya sempat menulis tentang rontoknya bank Indymac Bancorp. Kasus inipun tidak jauh berbeda dengan kasus Bear Sterns. Para pengamat sektor finansial pun memperkirakan masih akan ada lagi korban yang timbul akibat Asset-Liabilities Mismatch ini.
Tulisan Ekonomi lain bisa dilihat di :
1. www.misbahulmunir.blogspot.com
2. http://fccerto.blogspot.com/
3. http://vierjamal.blogspot.com/
4. http://warungidic.hotgoo.net/weekly-predictions-f20/bumi-08-11-07-08-t73.htm
5. http://www.seputarsaham.com/
6. http://janganserakah.com