Dikutip dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/Gambar di samping Didik PR, trainer Audit TI , Inixindo, diambil dari http://www.ebizzasia.comInilah Digital Entrepreneur Indonesia Indonesia, seperti negara-negara lain di Asia, belakangan dirasuki gelombang bisnis berbasis teknologi informasi (TI) dan Internet. Boleh jadi, karena terinspirasi keberhasilan Bill Gates yang memulai usahanya semasa mahasiswa, fenomena tumbuhnya bisnis TI di negara-negara Asia juga dipicu para profesional muda yang kebanyakan mengenyam pendidikan TI di universitas-universitas terkemuka di mancanegara. Namun, tak sedikit yang sama sekali tak berlatar pendidikan TI. Keberanian dan ketertarikan yang kuat p ada bidang TI membuat para wirausahawan muda mampu mencetak sukses. Siapa tahu, mereka mampu mengikuti sukses Gates.
Berikut adalah profil beberapa perusahaan TI yang dikomandani profesional muda. Masih banyak perusahaan TI yang lain. Yang ditampilkan sekadar contoh gambaran segelintir perusahaan TI di Indonesia.
DNet Pelopor Transaksi On LineMau buka toko anti dijarah/dirusak massa? Atau, toko yang tanpa perlu menyewa/membeli ruangan? Buka saja toko di dunia maya tak terbatas atau Internet. Selain aman, biaya operasionalnya terbilang murah, karena cuma perlu biaya sewa situs web. Kelebihan la in toko ini, bisa dilihat dan didatangi pembeli mancanegara, dan pembayarannya pakai kartu kredit.
Adalah Sylvia yang memelopori transaksi on line sejak 19 September 1996. Bachelor of Arts dari Jurusan Ekonomi Universitas Syracuse, New York yang bernama lengkap Sylvia Efie Widyantari Sumarlin ini, lewat Dyviacom Intrabumi atau populer disebut DNet memp unyai fasilitas mal di Internet. Bagi yang berminat membuka toko di Internet, bisa menggunakan jasa DNet dengan mengklik www.d.net.net.id. "Kami bertekad menjadi internet service provider yang paling inovatif, dan megikuti tren," tandas putri kedua dari l ima bersaudara mantan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin.
Kelahiran 10 November 1963 itu mengaku tak main-main dengan bisnis yang digelutinya. Dengan modal mencapai Rp 6 miliar, ia memancangkan misi tak sekadar sebagai penyedia lini ke Internet, tetapi juga berkonsentrasi pada pengembangan isi, informasi dan tek nologi Internet. Sylvia memanfaatkan jaringan relasi dan teman-temannya di berbagai bidang usaha -- mebel, makanan, bunga, restoran, peralatan olahraga dan film. Para pengusaha muda yang ingin mencoba pasar baru melalui media Internet menjadi lahan garapa nnya. "Saya melihat ada peluang langsung menerjuni usaha perdagangan on line," ujar Sylvia yang mulai terpikat TI saat ia bergabung di Hewlett-Packard di Palo Alto, Amerika Serikat pada 1983.
Awal kiprahnya DNet cuma mampu menjaring klien perusahaan yang boleh dibilang kecil. Perkembangannya, DNet yang saham mayoritasnya dimiliki Sylvia dan suaminya, Rudy Hari, sepasang pengusaha perkayuan dan kontraktor, serta Primkopparpostel, dapat merebut perusahaan besar. Sampai saat ini klien DNet 1.500 perusahaan. Dari angka tersebut baru sekitar 10% yang membuka homepage di DNet. "Tahun depan, kami akan berusaha menaikkan total homepage menjadi 25%," papar Master of Arts dari Jurusan Perdagangan Intern asional dan Keuangan Sekolah Ekonomi dan Administrasi Publik Maxwell, Universitas Syracuse.
Saat ini akses harian ke DNet mencapai 20 ribu hit/hari. Dari beragam produk yang dijual, menurutnya produk makanan (kue) relatif paling laris. Rata-rata ordernya 5 kali/hari sedangkan pada hari raya sampai 50 kali/hari. Transaksi on line terjadi sekitar menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru. Dalam setahun, bisnis ini mengalami peak season 5 bulan, di mana transaksinya mencapai 150 kali/hari. Rata-rata pemesanannya untuk bunga, makanan dan kado. Di bulan-bulan biasa, seharinya cukup 80 transaksi. "Orde r produk lain belum tentu ada setiap hari," kata Sylvia yang bekerja tujuh hari dalam seminggu, dan setiap harinya beranjak dari kantor setelah pukul 22.00.
DNet tidak memfokuskan target pasar. "Siapapun merupakan pasar potensial," ujarnya. Menurutnya, industri besar-menengah-kecil dapat berpartisipasi dalam on line trading, seperti komitmen DNet sebagai provider yang dapat melayani kebutuhan pengguna Interne t secara menyeluruh. "Kalau kami fokus pada target pasar, bahayanya, membatasi kesempatan atau peluang merebut pasar tertentu," paparnya. Di mata Sylvia yang kalau bicara kental logat Jawanya, DNet dapat meneliti pasar mana yang paling berpengaruh dalam b ertransaksi on line.
Endang K. Saputra/HTS.
Mandiri On Line Siap Merambah E-commerceSebelum banting setir ke media on line, Mandiri adalah harian sore di bawah pengelolaan The Indonesian Observer (TIO). Persaingan media cetak pascareformasi yang makin ketat agaknya membuat langkah Mandiri terseok. Ia tidak mudah memenetrasi pasar, mendon gkrak sirkulasi dan iklan. "Kami akhirnya berpikir membangun harian berbasis Internet," ungkap penggagas Mandiri On Line (MOL), Taufik Darusman, yang juga Redaktur Pelaksana TIO.
Ternyata, kemunculan MOL mendapat sambutan dan animo yang cukup baik dari pengguna Internet. Dengan empat redaktur plus 6 reporter yang meliput di lapangan, serta dua teknisi yang bertugas men-download berita ke Internet, boleh dibilang MOL saat ini merup akan media yang cukup efisien memanfaatkan SDM. "Setelah kami mengetahui Mandiri tidak terlalu mampu bersaing dengan harian sore yang lain, kami memutuskan terjun sepenuhnya di Internet," Taufik menjelaskan. Seperti media cetak umumnya, reporter MOL mewar takan hasil liputan di lapangan, dan kru redaktur mengolahnya menjadi berita yang kemudian diakses ke Internet.
Modal pendirian MOL yang berkantor di Gedung Indovision lantai 9 Jakarta Barat ini, hasil patungan 20% TIO dan modal sisanya disetor para pengelola Indovision, Pri Sulistio dan Suhardi Gunawan. Taufik menolak menyebutkan besarnya masing-masing modal dise tor. Keistimewan MOL menurutnya, visualisasi berita yang ditampilkan berbentuk kolom. "Sifat berita yang kami tampilkan pun banyak yang berbentuk breaking news," ujarnya.
Menurut Taufik, saat ini banyak permintaan dari pengguna Internet di luar negeri mengenai informasi yang diwartakan MOL. "Karenanya, kami berupaya memberikan informasi dan menyampaikan berita dalam format mendekati real time," paparnya. Sebagai contoh, sa at mantan orang nomor satu Republik Indonesia, Soeharto masuk rumah sakit. "Reporter kami yang ada di rumah sakit melaporkan perkembangan yang terjadi hampir setiap 15 menit sekali, dan beritanya kami sampaikan pula setiap 15 menit," jelas Gunadi Henoch, Penanggung Jawab Pemberitaan MOL.
Diakui Gunadi, jumlah pengunjung MOL sekitar 3 ribu orang/hari. Bahkan, saat Soeharto masuk rumah sakit, MOL diakses 11 ribu orang. "Sampai sistem yang kami pakai sempat blok, akibat banyaknya pengakses yang ingin mendapatkan informasi terbaru," katanya s edikit bangga. MOL juga banyak dimanfaatkan mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di luar negeri. "Berita kami juga banyak dikutip media lain di daerah. Asal sumber beritanya ditulis, bagi kami tidak masalah," lanjut Gunadi.
Ke depan, MOL akan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan menggalakkan kegiatan E-commerce. "Kami berharap, media ini menjadi tempat transaksi berbagai kegiatan bisnis di Internet," tuturnya. Kerjasama yang sudah terjalin dengan JSX, sedangkan dengan In dovision -- mengenai penyampaian informasi -- dalam penjajakan. "Nantinya, pelanggan Indovision dapat mengakses Internet lewat saluran TV kabel yang dikelola Indovision," kata Gunadi.
Maulana Yudiman/HTS.
Jatis Bersaing di Pasar GlobalJati Piranti Solusindo atau lebih populer dengan Jatis juga dikibarkan para profesional muda. Dibentuk pada 1997, Jatis yang dimotori Rudy Susilo dan Izak Jenie masuk ke bisnis TI dan membidangi jasa konsultasi TI. "Kami percaya, sekelompok kecil orang ak an bergerak jauh lebih cepat daripada tim yang lebih besar," tuturnya. Izak mengaku masuk ke lini bisnis TI, karena bidang ini dapat masuk ke bisnis konvensional, dan banyak keunggulan kompetitifnya bagi pelaku bisnis konvensional. "Inilah saat yang menar ik untuk convert TI dengan industri konvensional, terutama dengan tersedianya jalur elektronik global Internet," papar Direktur Teknologi Jatis ini.
Memulai bisnis dari nol, Jatis cukup beruntung cepat memosisikan diri dalam waktu relatif singkat. Dalam dua tahun, menurut Izak, Jatis tumbuh dan berkembang dengan kinerja cukup baik. Jatis yang berkantor di Menara Rajawali memiliki 55 karyawan, padahal dua tahun lalu sama sekali tak ada tenaga yang diberdayakan selain para pendirinya. "Kami juga beruntung mendapat dukungan pelanggan, yang kembali memberi kepercayaan pengerjaan proyek-proyek," ujarnya. Di tengah krisis, 70% pelanggan Jatis adalah returni ng customer. Ini membuktikan Jatis dipercaya klien. Jatis boleh dibilang cukup jeli bisa menggandeng mitra Oracle, Microsoft, Lotus dan IBM.
Izak optimistis, bisnis yang dia geluti bersama rekan-rekannya berprospek bagus. "Satu hal yang mendorong kami percaya pada bisnis ini adalah kepercayaan pada skill TI yang kami miliki," papar Izak seraya menandaskan, kemampuan TI para profesional di Jati s mudah bersaing di pasar global. Izak dkk. terus termotivasi memberikan gebrakan baru bagi dunia TI secara keseluruhan. "Kami juga terdorong selalu mengekspose bakat anak muda Indonesia bersaing di arena teknologi tinggi."
Firdanianty/HTS.
Berkah Inixindo dari Memopulerkan UNIX
Ketika teknologi UNIX masih terdengar awam bagi masyarakat TI di Indonesia -- sementara di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sudah sangat populer -- tiga serangkai Ifik Lakswirinto Arifin, Partono Rudiarto, dan Sakti Salman justru mengambil langkah berani, terjun sebagai penyelenggara pelatihan sistem operasional UNIX bagi profesional TI di sini. "Saya sempat ditertawakan teman-teman, karena pasarnya tipis dan tidak ada orang yang tertarik," ungkap Ifik. Memang, saat ini UNIX belum populer dan sanga t mahal. Toh, tiga serangkai maju tak gentar. Tahun 1991, Inixindo dikibarkan. Ifik yang lulusan Sains Komputer dan Informatika dari Universitas Kaiserslautern, Jerman, optimistis TI bakal menjadi bagian yang sangat penting dari keberhasilan usaha.
Adapun Partono Rudiarto yang akrab dipanggil Didik memaparkan bahwa ketakpopuleran UNIX justru dinilainya sebagai peluang bagus. Artinya, orang ingin mempelajarinya, karena sifat UNIX yang open system, sehingga bisa dipakai untuk hardware mana saja. "Inil ah yang memunculkan ide membuat divisi pelatihan, yang dapat mendukung penyebarluasan sistem," ungkap lulusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur itu.
Ketika pertama kali diperkenalkan, sepanjang tahun 1991 Inixindo hanya mampu menjaring 100-an peserta pelatihan. Seiring berjalannya waktu, pada 1993-94 UNIX mulai bisa diterima dunia bisnis. "Jadi, semakin banyak perusahaan yang memanfaatkan UNIX," kata Didik bangga. Bisnis pelatihan yang dikibarkan Inixindo juga berkembang. Klien tidak lagi terbatas pada instansi Pemerintah, tapi juga perusahaan swasta. Pada 1993-94, jumlah peserta pelatihan mencapai 500-600 orang. Topik pelatihan pun dikembangkan, yang semula hanya 5 topik dengan dua instruktur menjadi 50 topik dengan 14 instruktur tetap.
Pemekaran jelas terjadi pada ruang pelatihan. Awalnya, Inixindo hanya memiliki satu ruang kelas dengan 10 komputer. Setelah berkembang 8 tahun, Inixindo mengambil tempat di Wisma Bisnis Indonesia dengan 6 ruang belajar. Kini, mempersiapkan penambahan 2-3 ruang pelatihan lagi di Hotel Park Plaza. "Maklum, jumlah peserta sering membludak," ujar Didik. Sekarang, jumlah pesertanya 1.500-2.000 orang/tahun. Bahkan, sampai semester I/1999 jumlahnya 300 peserta/bulan. Namun, dibandingkan jumlah profesional TI di Indonesia, Didik mengakui, prestasi yang dicapainya belum apa-apa. "Ini pula yang membuat kami yakin, peluang Inixindo menjadi lebih besar, masih terbuka lebar," tandasnya.
Seiring pertumbuhan tersebut, Inixindo tidak lagi hanya mengurusi pelatihan. Dua divisi lain yang kini juga lahan bisnisnya adalah software house dan hardware maintenance. Toh, yang berkontribusi terbesar memang divisi pelatihan. Sejak berdiri sampai sek arang, Inixindo telah melatih lebih dari 8 ribu orang dari sekitar 1.000 perusahaan nasional/multinasional. Menurut Didik, revenue sales sampai kuartal III/1999 sebesar Rp 2,5-3 miliar. Diperkirakan, sampai akhir tahun ini mencapai Rp 3-3,5 miliar. Menyin ggung aset Inixindo, Didik mengelak menjelaskan. Yang jelas, Inixindo mempunyai 80 komputer terdiri dari 10 server dan selebihnya PC. Harga satu server Rp 40-80 juta. "Aset yang cukup mahal adalah perangkat jaringan. Satu perangkat jaringan bisa mencapai US$ 20 ribu," ungkapnya.(o)
Firdanianty/HTS.
Indo Exchange: Menduniakan Pasar Modal IndonesiaJiwa wirausaha Eddie Darajat memang sulit dibendung. Meski sudah mengenyam kenyamanan kerja di Divisi Teknologi Informasi Andersen Consulting, ia rela memulai usaha sendiri dari nol. Alumni Institut Pertanian Bogor, 1982 ini memang berobsesi memiliki usah a yang mengakses data tentang pasar modal. Maka, bersama seorang rekannya yang mantan Direktur Pengelola Radio Bahana, ia merancang mimpinya dari satu ruangan di rumah sang rekan. Tahun itu, 1996, berdirilah Indonesia Net Exchange atau Indo Exchange (IE).
Eddie berani mengklaim, ialah yang pertama -- di Asia, bahkan di dunia -- menyediakan pelayanan jasa akses informasi pasar modal pada tahun itu. Ia yakin, situsnya akan dikunjungi banyak orang. "Karena, di sini ada permintaan dan kebutuhan (terhadap infor masi pasar modal) tetapi pemain lokal yang menyediakannya tidak kelihatan," ujarnya. Bagi calon investor, IE adalah sarana mendapat informasi dengan mudah, lebih cepat dan lebih transparan.
Langkah pun diayun dengan berpromosi dari pintu ke pintu, melakukan demo, pasang banner dan melakukan upaya pemasaran melalui Internet. Sepanjang 1996, IE tak mengalami pertumbuhan berarti. "Itulah masa kritis perkembangan IE," kata Eddie. Untunglah, di a wal 1997 IE mendapat kontrak dari Bursa efek Jakarta untuk memuat informasi seluruh perusahaan go public.
Sekarang pelanggan IE 80 ribu orang -- 60% Indonesia, sisanya asing. Eddie dibantu 20 karyawan mengelola aset Rp 800 juta dengan omset Rp 1,2-1,3 miliar. "Wilayah sasaran kami sampai ke Asia," ungkapnya. Untuk itu, IE bermitra dengan AFX dan memberikan da ta real time tentang berita keuangan dan juga politik yang berkaitan dengan kondisi Indonesia. "Peluang usaha di bisnis penyedia data ini sangat besar, dengan asumsi 200 perusahaan yang sudah go public dan begitu banyak sekuritas di Indonesia," papar bapa k berputra satu ini.
Lily Glorida Nababan/S. Ruslina.
Kafegaul.com: Hasil Cinta, Napas dan Hidup di InternetBermula dari kecintaan dan hobi surfing di Internet, lalu berdiskusi tentang perkembangan Internet, empat orang muda di bawah usia 30 tahun ini menemukan beberapa kekosongan pada konsep dan sektor di Internet Indonesia. Salah satunya, tak ada situs komuni tas di mana surfer bisa berinteraksi satu sama lain. Lantas, meluncurlah ide membuat situs tersebut. Modal empat sekawan ini hanya satu komputer, satu notebook dan patungan duit Rp 15 juta. Seperti IE, mereka juga meminjam tempat di rumah orang tua Ratna Tatiana Dewi -- sekarang menjadi Manajer Bisnis -- di perumahan Cipinang Indah. Dan dengan semangat love of the net, di medio Februari 1999 meluncurlah situs kafegaul.com dari tangan mereka. Awalnya, "Kalau ada yang mengunjungi 1-2 orang, wuah, senengnya bukan main!" ujar Ratna. Kini, situs yang doyan ber-"saya kamu" dan menyisipkan bahasa Inggris di sana-sini itu menerima total 1,5 juta pengunjung usia 18-35 tahun. "Lumayanlah, mungkin banyak orang kesepian dan ingin mencari teman di Internet," kata Ratn a sambil tertawa.
Sesuai motonya, Make The Best Use of The Internet for Business and Everyday Life, Kafegaul.com menyediakan fasilitas berinteraksi dalam bentuk chat, milis, kencan, forum diskusi, dll. Omset Kafegaul -- kini Rp 5 juta/bulan dari iklan -- makin memacu seman gat memperbaiki tampilan dan layanan tanpa menghilangkan bobot bisnis. Situs baru pun muncul, Jeruk.com, yang menawarkan pengalaman berbelanja yang terbaik dan ternyaman, dengan harga terbaik pula. Rencana akhir tahun ini, akan ada lagi tiga website: port al Internet Indonesia dengan nama Indonesi.com dan dua website content lain yang isinya masih rahasia.
Padahal, hanya seorang dari mereka yang berlatar belakang komputer. Bowo Tasrifin, sang Manajer Aplikasi, lulusan Jurusan Komputer Universitas Indonesia. Lalu, Ratna meraih MBA dari Queensland University of Technology -- keduanya berusia 28 tahun. Heri No viandi, Manajer Desain, yang berusia 25 tahun, meraih Master of Engineering dari kampus yang sama dengan Ratna. Sementara Rudi Adrianto, 20 tahun, masih kuliah di Jurusan Ekonomi Universitas Trisakti.
Perlu dicatat, kafegaul.com ini bukanlah perusahaan TI ataupun web design. "Kelebihan Internet adalah pada kemampuan interaksinya, kami konsentrasi pada content dan interaksi, bukan desain atau teknologi tercanggih," kilah Ratna. Namun, mereka menyimpan o bsesi akan membuat perusahaan serius untuk menampung cinta, hidup dan napas mereka di Internet. Ratna dkk. bercita-cita mengedukasi masyarakat Internet Indonesia dengan menyediakan website-website yang berorientasi pada interaksi dan servis -- pelayanan m asyarakat dalam bisnis maupun kehidupan sehari-hari. Ratna optimistis, bisnis mereka bisa menjadi besar seperti Hotmail atau Yahoo yang nilainya miliaran dolar AS.
Lily G. Nababan/Teguh Sri Pambudi.
Indotradezone: Pedagang Dulu, Baru Teknolog
Biasanya satu situs Internet (website) didesain oleh teknolog atau ahli komputer dan dipasarkan oleh pemasar. Sebaliknya, Indotradezone (ITZ), didesain oleh para trader (pedagang) dan disempurnakan oleh teknolog. ITZ adalah bursa perdagangan 24 jam di Int ernet. Di sini para produsen dan supplier dari seluruh Indonesia dapat mencantumkan segala informasi mengenai produk-produk mereka secara harian, mingguan atau bulanan. Bagi para importir, ITZ dapat menjadi panduan mudah menemukan produsen dan produk yang diinginkan.
Amalya Hasibuan, Ravi K. Menon dan Sachin Gopalan -- usia masing-masing 27, 29 dan 30 tahun -- lah yang menelurkan ide ITZ tersebut. ITZ kini menjadi produk PT Insan Dharma Abadi (IDA) milik Amalya yang berafiliasi dengan Grup Suara Pembaruan, dan bekerja sama dengan perusahaan milik Ravi dan Sochin -- IE India -- yang berpengalaman di bidang software Internet. Amalya, putri Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan Albert Hasibuan, adalah lulusan Jurusan Desain American College di Los Angeles, AS. Sa chin, insinyur lulusan Universitas Anna di Madras, India. Adapun Ravi, Master Bisnis Internasional dari Indian Institute of Foreign Trade-New Delhi. Ravi pernah menjadi Country Representative Bakrie Nusantara Singapura. Dengan modal US$ 65 ribu -- terbesa r untuk hardware dan original software -- hasil patungan IDA dan IE India, ITZ kini memiliki 14 staf.
Ide muncul juga karena keprihatian mereka terhadap akibat krisis moneter. Daya beli masyarakat menurun, sementara eksportir yang butuh sarana mengekspor tidak tahu cara yang efektif. "Meski tahu Internet, tapi tidak tahu bagaimana menggunakannya," ungkap Ravi. Padahal, Internet adalah pasar dengan 205 juta pengguna di seluruh dunia, dengan mayoritas pengguna di AS, Eropa dan Kanada. Betul saja, begitu ITZ muncul, sambutan pengusaha Indonesia sangat baik. Bahkan, Kadin seperti ketemu jodoh. Rudi Pesik, Ket ua Kompartemen Luar Negeri Kadin, melihat ITZ sebagai sarana baik untuk menggalakkan ekspor Indonesia. Sejak diluncurkan pada 21 Juni 1999, ITZ telah dikunjungi 230 ribu peminat atau sekitar 3 ribu peminat/hari. IT menduduki posisi nomor satu dalam urutan eksportir Indonesia pada search engine yang tersering digunakan di seluruh dunia, Yahoo.
Semula ITZ hanya menyediakan Premium listing dengan harga Rp 8,9 juta/tahun. Namun, atas nasihat Rudi Pesik, untuk menurunkan harga sehingga perusahaan kecil juga dapat bergabung dengan ITZ, maka ditambah dua macam listing lagi. Listing Plus menambahkan f oto dan bertarif Rp 2,52 juta/tahun -- seperti Premium anggotanya akan mendapatkan fasilitas e-mail. Sementara Kadin Basic bertarif Rp 1,5 juta/tahun, tanpa foto. Mahal? "Harga (setinggi) ini karena kami menyediakan servis yang memuaskan. Kami menggunakan uang pelanggan seoptimal mungkin," tegas Ravi berpromosi. Ditambahkannya, ITZ pun selalu berusaha sedekat mungkin dengan pembeli. Caranya, menyampaikan pesan-pesan sederhana di trading board di seluruh dunia mengenai anggotanya 1-2 minggu sekali.
Lily G. Nababan/Maulana Yudiman.
SuratkabarCom Situs Pemberitaan Terkini dan TepercayaMerangkai dunia lewat teknologi serta menyampaikan informasi dan lowongan pekerjaan, dengan sasaran peningkatan citra Indonesia di dunia internasional. Itulah salah satu visi pebisnis Internet, SuratkabarCom Online.
SuratkabarCom didirikan pada 15 Mei 1999 oleh kuartet digital entrepreneur: Dick Hill, Heru, Dede dan Jun. Keempatnya berusia di bawah 40 tahun dan bukan dari disiplin ilmu teknologi informasi (TI). Modal mereka, selain menguasai TI, juga sedikit dana dar i kocek masing-masing. Sayangnya, mereka enggan menyebut berapa investasi untuk membangun infrastruktur perusahaan TI itu. Selain mendongkrak citra, SuratkabarCom berusaha menampilkan media maya yang dinamis, up-to-date, informatif, serta memberi lowongan pekerjaan bagi WNI di manapun mereka berada, khususnya yang menyenangi dunia jurnalistik.
Esensi SuratkabarCom adalah media massa berbahasa Inggris yang bisa diakses siapapun di belahan dunia manapun. Istimewanya, media ini menampilkan semua berita yang berkaitan dengan Indonesia, Jepang dan dunia, khususnya di bidang ekonomi. Dengan keunggula n Internet dan konsep maya, manajemen SuratkabarCom, selalu meng-up date berita setiap jam, bahkan setiap menit.
Maka, sejak beroperasi satu setengah bulan lalu, SuratkabarCom dalam seharinya diakses 5 ribu orang. Bahkan, salah satu pengakses dari Singapura menyarankan agar pebisnis Internet ini go public. Tentu saja, saran itu masih terlalu jauh. "Aset kami hanya p engetahuan di pers dan Internet. Tak ada yang bisa kami kemukakan, lantaran bisnis ini memang dalam tahap awal dan dimulai dari nol besar," kata para digital entrepreneur itu lewat jawaban e-mail.
Manajemen SuratkabarCom tidak muluk-muluk mematok target. Mereka enggan menjawab bila ditanya siapa klien dan dampak komersial bisnis Internet itu. Saat ini, konsentrasi dilakukan pada pembenahan dan peningkatan kualitas agar komunitas internasional perca ya tentang produk SuratkabarCom.
Pembenahan itu akan rampung dalam setahun. Setelah itu, manajemen akan mengembangkan usaha di bidang lain. Beberapa usaha ke depan sudah disiapkan, tapi akan lebih baik kalau semua pembenahan itu menghasilkan produk berkualitas. "Kami ingin menjadikan Sur atkabarCom sebagai situs pemberitaan terkini dan tepercaya."
Rian S./Maulana Yudiman.
PT Javacrafts Peminatnya 10-30 KontainerTak ada hal yang istimewa dari kantor di Jalan Padasuka 116 Kav. 9, Bandung ini. Selain kantor rumahan, juga tak tampak kesibukan yang berarti. Namun, jangan salah sangka. Dari kantor ini, setiap tahun tak kurang dari 10-30 kontainer barang-barang kerajin an -- mebel rotan dan kayu hingga topeng -- diekspor. Pembelinya, dari Spanyol, Belanda dan Amerika Serikat.
Kantor itu tak lain milik PT Javacrafts, perusahaan yang sukses mengembangkan TI (e-commerce) untuk jasa layanan bisnisnya. Berdiri pada 1996, Javacrafts bermula dari pemanfaatan TI untuk menggantikan gerai ritel. Lewat Internet, perusahaan ini mulai menj alankan Small Office Home Office dengan pasar luar negeri. Produk-produk yang ditawarkan berupa furniture rotan, topeng Bali serta barang kerajinan lainnya. Kebetulan, sister company Javacrafts, PT Erlangga, produsen furniture.
Menurut Laksita Utama, Direktur Eksekutif Javacraft, awalnya, cara yang dilakukan pihaknya tak berjalan mulus. Namun setelah beberapa waktu, dengan sedikit kesabaran, jerih payah itu tidaklah sia-sia. Sejak tayang di Internet pada 1997, perusahaan berhasi l memperoleh 15 juta alamat e-mail di seluruh dunia. Alamat ini diperoleh lewat pengembangan software robot yang dilakukan tim TI Javacrafts. Namun, jawaban yang diterima tidaklah memuaskan. Bukan pesanan, tapi umpatan dan cacian. "Malah kami melakukan sh ut down selama sebulan," tutur Laksita.
Tahun pertama dalam mengembangkan bisnis di Internet ini boleh dikata gagal. Hasilnya tidak signifikan dibandingkan buka toko langsung. Setelah evaluasi, Javacrafts kembali meluncurkan website: Balicraft.com. Ternyata, produk ini pun gagal. Dalam 6 bulan tidak ada order.
Tak jera dengan kegagalan, Javacrafts kemudian meluncurkan website ketiga, Javateak.com. Dana yang dikucurkan untuk membuat ketiga website itu Rp 250 juta. Setelah didesain dengan software canggih -- lewat deskripsi yang lebih rinci, upaya ini berhasil. B anyak konsumen, setelah catting kemudian datang langsung ke Bandung. Para pembeli itu membawa desain furniture yang diinginkan. Perusahaan yang didirikan sekelompok anak muda ini telah memetik keberhasilannya. Rata-rata omsetnya Rp 50-400 miliar/tahun.
Toh, tambah Laksita, keberhasilan Javacrafts tidak sepenuhnya menggunakan website. Pihaknya menggunakan kombinasi, yakni dengan website dan cara konvensional, yakni membuka gerai -- di Dor Drecht, Belanda, dan San Jose, AS -- mengikuti pameran di luar neg eri serta mengirim katalog internasional lengkap dengan home page Javacrafts.
Rian S./Darandono.
Iklan Baris Jual-Beli, Dari Komputer Hingga Benda Antik
Salah satu perusahaan yang cukup sukses di bisnis Web advertising adalah PT Bitnet Komunikasindo (BK), Internet Service Provider (ISP) yang berlokasi di Jakarta. Lewat situs Internet Iklan Baris, BK berusaha mengakomodasikan berbagai kebutuhan pemakai Int ernet, yang ingin menjual barang atau mencari barang tertentu -- dari komputer, properti, ponsel, hingga benda antik.
Situs Iklan Baris beroperasi komersial mulai 1 Oktober 1997. Pada 1 Juli 1998, program situs ini diubah, termasuk penampilannya. Menurut Rikando Samba Asi, Manajer Pemasaran dan Promosi BK, pengunjung Iklan Baris terus bertambah. Bila pada Juli 1998 sekit ar 500, kini -- hingga Juli 1999 -- tak kurang dari 5 ribu, dari Surabaya, Malang, Batam hingga Riau. "Malah, situs kami diakses oleh mereka yang berada di Singapura, Jepang, Malaysia dan Australia," ujar Rikando.
Para pengguna situs (
http://www.iklanbaris.co.id/) ini, kebanyakan bekerja di kantor. Ini terlihat pada waktu akses mereka ke Iklan Baris, hampir sebagian besar pada jam kantor, pukul 8 pagi hingga 5 sore.
Rikando menambahkan, banyak keuntungan bila pengguna Internet berpromosi lewat Iklan Baris. Alasannya, waktu tayang iklan tidak terbatas. Bisa muncul 24 jam sehari, 7 hari seminggu sehingga ekspose terhadap iklan itu sangat besar. Dengan website yang term asuk paling sibuk di Indonesia, besar kemungkinan terjadi transaksi. Selain itu, tarif pemasangan banner di Iklan Baris sangat kompetitif bila dibandingkan site-site lain maupun media cetak.
Rian S./Dedi Humaedi.
PT Trabas, Sukses Mengembangkan X-Office
PT Meitraco Bahana Sejahtera (Trabas) termasuk perusahaan yang berhasil di bidang software house. Perusahaan yang berkantor di Kompleks Setra Sari Mall, Blok B1-35, Jalan Prof. Drg. Surya Sumantri 120, Bandung ini, sukses mengembangkan produk X-Office -- peranti lunak berbasis Linux (SWA edisi 9/1999). Trabas, yang berdiri sejak 1995, kini mempunyai klien tak kurang dari 32 perusahaan.
X-Office bisa berintegrasi dengan sistem operasi dan jaringan manapun (multiplatform), seperti Windows NT, Novell Netware, Unix dan Aple Machintosh. X-Office juga bersifat multiuser -- tidak ada pembatasan jumlah pengguna -- serta bisa digunakan untuk man agement user (pengaturan penggunaan Internet).
Sebelum memproduksi X-Office, Trabas menggeluti bisnis Internet dan intranet. Perusahaan ini mulanya didirikan oleh sekelompok mahasiswa dan alumni Institut Teknologi Bandung. Kini yang aktif tinggal Tiga Serangkai: Lonieta Illiana (Lola) yang menjabat Ge neral Manager, Wilyan Ansjar (Manajer Pemasaran) serta Arie Dhiartanto (Manajer Teknis).
Trabas, kata Lola, lahir karena keinginan mengembangkan bisnis TI. Dengan modal patungan Rp 13 juta -- berasal dari kocek sendiri plus pinjaman -- mereka membeli seperangkat komputer untuk mendukung operasionalisasi Trabas.
Pada 1996, Trabas mulai menekuni Linux. Performa teknologi Linux ini tidak kalah canggih dari Windows. Kelebihannya, Linux tidak perlu menggunakan peranti keras seperti prosesor Pentium, tapi cukup dengan prosesor 486 DX. Trabas akhirnya berhasil mengemba ngkan peranti lunak, yang dijual ke perusahaan-perusahaan dengan X-Office.
X-Office dijual dalam berbagai paket, mulai dari paket standar (Rp 3,15 juta) plus biaya pemeliharaan bulanan Rp 100 ribu, hingga paket X-Office palatinum (Rp 4,1 juta) ditambah biaya bulanan pemeliharaan Rp 850 ribu. Setiap paket terdiri dari CD, buku pe tunjuk, pelatihan dan gratis pemeliharaan selama tiga bulan. Setelah itu, ditarik biaya pemeliharaan.
Selain paket itu, Trabas menawarkan pula pembuatan domain perusahaan atau membangun manajemen mail server. Banyak konsumen yang meminta dibuatkan alamat e-mail bagi karyawannya, hanya dengan satu sambungan ke ISP. Satu mailbox dari ISP ditarik melalui X-O ffice dan dipecah menjadi alamat masing-masing pengguna Internet. Cara ini lebih hemat ketimbang berlangganan beberapa alamat e-mail langsung dari ISP.
Respons konsumen cukup positif. X-Office tidak hanya diminati perusahaan kecil dan menengah saja, tapi juga perusahaan besar. Produk ini sekarang tak hanya beredar di Jakarta dan Bandung, tapi menjangkau Batam dan Medan pula. Luasnya pasar ini cukup memba wa dampak yang siginifikan bagi omset perusahaan. Pada 1998, Trabas meraup pendapatan bersih Rp 222 juta. Tahun ini, pendapatan diperkirakan mencapai Rp 1 miliar lebih. "Untuk itulah, kami bisa pindah dari paviliun ke kantor yang lebih representatif," uja rnya.
Saat ini, Trabas berhasil mengembangkan X-Office versi 1.0 dan versi 2.6. Sebentar lagi, versi 3.0. Kelak, Trabas tidak hanya menjual peranti lunak, tetapi juga sebagai perusahaan pengembang peranti lunak berbasis Linux.(o)
Rian S./Endang K. Saputra.
CBNnet Melayani 25 Ribu PelangganBoleh jadi, CBNnet termasuk salah satu perusahaan ISP yang cukup sukses. CBNnet didirikan oleh sekelompok anak muda pada 1995 dengan investasi Rp 1 miliar. Selain dari kocek sendiri, dana itu diperoleh dari pinjaman bank dan lembaga keuangan lainnya. Sete lah dua tahun beroperasi, CBNnet mempunyai sekitar 25 ribu pelanggan, dari total 1 juta pengguna internet di Tanah Air (data versi APJII).
Menurut Stephanus Jonathan, Corporate Account CBNnet, pihaknya melihat peluang besar di bisnis TI, khususnya di Tanah Air. Selain pemain belum banyak, lahan ini belum digarap dengan baik. Awalnya, CBNnet memperkenalkan produknya melalui iklan di media mas sa serta mengikuti berbagai pameran komputer. Selain itu, CBNnet terus menjaga dan mempertahankan kualitas layanan yang baik. Cara ini cukup efektif, dan terbukti pelanggannya cukup besar. "Sekarang kami mengurangi bujet iklan, karena banyak pelanggan yan g membawa kolega atau anggota keluarganya untuk memakai jasa kami," tutur Stephanus.
Kendati saat ini kondisi perekonomian nasional sedang diterpa krisis, CBNnet tetap beroperasi. Diakui, operasionalisasi perusahaan memang berat. Hampir sebagian besar komponen biaya harus dibayar dengan dolar AS, sementara pendapatan dalam rupiah. Toh, it u bukan kendala. CBNnet tidak dapat sewenang-wenang menaikkan biaya langganan. "Ini komitmen kami kepada pelanggan," tegas Stephanus.
Manajemen CBNnet mempunyai target menjadi ISP terbaik di Indonesia. Langkah menuju ke arah itu perlahan-lahan sudah dimulai, dengan penambahan fasilitas dan infrastruktur pendukungnya.
Rian S./Nur Iswan.
Informasi Com Pratama, Muda dan BergayaTeknologi adalah gaya hidup. Ini, keyakinan lima pendiri PT Informasi Com Pratama (ICP), yang prihatin soal layanan pascajual yang nyaris luput dari perhatian pengusaha teknologi informasi (TI). Juga, kendala pelanggan dalam aplikasi akibat software buata n non-Indonesia. Maka, Ade A. Wirama (26 tahun), Imran Ilyas (29), Boy I.S. Kamal (30), R. Damar Bagus Purusutama, dan satu-satunya wanita Meirini Sucahyo (29) -- sepakat mengelola peluang tersebut.
Medio Februari 1999, situs www.informasi.com mereka luncurkan dengan fokus pada konsultasi sistem informasi, terutama aplikasi dan sistem perancangan. Selain itu, ada jasa perawatan -- ICP bekerjasama dengan vendor dan bersedia sebagai helpdesk klien. "Ja di, selain menyusun langkah-langkah sistem jaringan informasi atau mengembangkan TI-nya, kami juga dapat memperbaiki software-hardware pelanggan yang rusak," tutur Ade A. Wirama yang bernama kercil Aan, Chief Information Officer ICP. Mitra vendor ICP saat ini Indonesian Software Corp., dan sedang dijajaki dengan vendor lain dari Australia dan Belanda.
Dari modal Rp 100 juta hasil patungan berlima, ICP kini menangani tiga perusahaan yang semuanya di bidang pelayaran. Aan, mantan Kepala Biro TI PT Centris Multi Finance bersama Imran -- CEO, mantan Direktur Keuangan & Adiministrasi PT Bahari Haluan Samud era (BHS) -- hampir setiap hari mondar-mandir ke Pulogadung menjenguk kliennya. "Kami mengerjakan sistem bisnis mereka, mulai dari pembukuan yang terintegrasi dari pusat sampai ke kantor cabang di daerah, lalu sistem pengiriman, dan fasilitas Internet," p apar Aan. Besar nilai proyek tergantung opsi yang ditawarkan ICP. Biasanya, ICP juga memberikan jasa pelatihan pengoperasian sistem.
Misalnya, penyediaan software nilainya Rp 50 juta. Menurut Aan, ICP menawarkan harga yang kompetitif dibandingkan perusahaan sejenis di luar negeri. Lagi, "Lebih aman," tambahnya berpromosi. Alasannya, tenaga informasi.com tidak dibayar sebagai tenaga ker ja bulanan. Setelah proyek berakhir, ICP tetap menjalin komunikasi, agar konsumen mencapai kepuasan lebih.
Meski berkaitan dengan TI, menurut Aan, bisnis ini belum sepenuhnya berbasis Internet. Link ke Internet hanya bagian dari layanan ICP. "Salah satu strategi pemasaran ICP, kemampuan menekan berbagai biaya telekomunikasi," ungkap mantan Manajer Pro-TI Bank Mayora, yang tidak sendirian. Karena, tiga kawannya memang piawai di bidang TI. Meirini, Vice President ICP pernah menangani proyek internasional WestPac, ANZ, BNZ dan National Bank, ketika bekerja di Electronic Data Systems di Wellington, Selandia Baru. Juga, Danamon-EDS Technology Services dan Bank BII-Commonwealth di Indonesia, serta Consumen Network Services di New Jersey, Amerika Serikat. Adapun Boy, memulai karier di BHS dari staf akunting yunior, jabatan terakhir Direktur Keuangan & Administrasi B HS. Sementara itu, Damar, anggota direksi dan Technical Support GM ICP, berpengalaman sebagai instruktur dan teknisi komputer di Yayasan PSKD dan PT Alton Mitra Sejati.
ICP membidik segmen menengah-bawah, dengan asumsi perusahaan di kelas ini lebih mudah mengatur pengeluaran TI-nya dibanding perusahaan besar. Selain itu, mereka belum banyak tahu TI dan penggunaannya. Pemasarannya, ICP menyebar brosur dan profil perusahaa n. Langkah ini perlu ditingkatkan, mengingat cita-cita ICP merambah ke E-commerce. "Penekanan pada pendirian helpdesk, sehingga nantinya menjadi pusat informasi, di mana klien atau siapapun anggota ICP yang menghadapi masalah, bisa secepatnya menghubungi kami," Aan menjelaskan. Atau, "Menjadi Microsoft Indonesia," ujarnya seraya tertawa.
Lily G. Nababan/Maulana Yudiman.
BaliWeb, Warung Global Anak SingarajaMeski tidak muda lagi, Suparsa tampil dan berjiwa muda. Bisnis yang digelutinya sangat dinamis, warung Internet (warnet). Sepulang dari tugasnya sebagai manajer proyek TI untuk PBB di Kamboja, ahli telekomunikasi lulusan Bandung dan enjinir di Indosat ini , melihat ada kekurangan di Pulau Dewata. Potensial dalam segi wisata, mengharuskan Bali berlari secepat kemajuan teknologi komunikasi. Turis asing tidak mau lagi memakai telepon. Alat komunikasi idaman mereka adalah yang termurah: Internet. Melihat pelua ng ini, gaji Suparsa yang US$ 650/hari -- ia bekerja 8 bulan -- segera dibelikan berbagai peralatan komunikasi yang ia rakit sendiri. Tahun 1995 berdirilah Wartel Kamboja, terbesar di Bali.
Sambil menjadi kontraktor jaringan kabel dan diler PABX merek Alcatel untuk hotel bintang lima di Bali, Suparsa, 54 tahun, mengembangkan jasa komunikasi Internet. Ia memilih lokasi warnet berkriteria hotel yang memiliki lebih dari 200 kamar dan berada di luar daerah tujuan wisata. Segera ia merekrut tenaga kerja muda mengelola Baliweb. Di antara 32 karyawannya terdapat dua disainer muda lulusan ITB dan seorang dosen dari Kamboja. "Walaupun direktur, saya hanya bergerak di pemasaran, yang lain dipegang ana k muda," tutur Suparsa ringan.
Tidak tanggung-tanggung, Suparsa meluncurkan produknya di tempat tersulit dan termahal di Bali, yaitu Hotel Grand Bali Beach. Sukses. Ia mengaku sengaja membuat strategi pemasaran dari atas ke bawah. Sebab, kalau laku di atas pasti ke hotel-hotel besar la in juga layak. "Saya sekarang sudah enak, pekerjaan yang mengejar saya," Suparsa berseloroh.
Situs www.baliweb.net berkembang dan berusaha masuk lima besar web dunia. "Kami tidak pernah turun dari peringkat tiga," ucap Suparsa bangga. "Kalau sampai turun, saya stop saja desainernya," tegasnya. Tidak heranlah, ia merekrut desainer ahli dari AS. Ke tika belum ada pesaing, Suparsa bisa memperoleh omset Rp 30-40 juta per bulan per warnet. Kini, turun menjadi Rp 10-15 juta. Pesaing juga melancarkan taktik harga lebih murah, Rp 500/menit. "Saya tetap Rp 1.000. Tapi, kami punya kecepatan dua kali dari me reka dengan konfigurasi yang lain," ungkap Suparsa. Pelanggan pun tetap ke warnetnya, 95% ekspat. Suparsa yakin, teknik dan layanan merupakan kunci emas melawan kompetitor. Tahun ini, Suparsa memasangi Baliweb teknologi Internet Connect Service, dan konfi gurasi teknik, sehingga kecepatannya lebih tinggi.
Sekarang, 12 warnet Suparsa tersebar di 12 hotel bintang lima di Bali seperti Grand Bali Beach Sanur, Nusa Dua Bali dan Tanah Lot. Ia bahkan berani mengklaim, di Bali, warnetnya yang tercepat dalam pengoneksian. "Kami berada di 64 kbps yang orang lain tid ak punya, dan kami paling disukai turis di sini," ujar Suparsa tanpa menyombong. "Peluang di bisnis informasi sekarang sangat kuat. Kalau investasi, modalnya tidak terlalu tinggi dan tidak ada istilah barang basi," lanjutnya bersemangat. Modal satu warnet sekitar Rp 140-200 juta dengan sarana empat komputer dan satu server. Ahli telekomunikasi yang mengaku memahami detil telekomunikasi analog hingga satelit ini, masih menyimpan banyak target. Jangka pendek, membuat satu warnet untuk hotel -- hanya membuat koneksinya, tapi dengan prototipe dari koneksi Internet hotel bintang lima. Lagi, memasang warnet-warnet dan menjualnya ke hotel seperti wartel. Di sini ia hanya membuat hardware dan konfigurasi, kemudian ekshibisi di hotel bintang lima.
Asetnya kini Rp 15 miliar -- naik pesat dari tahun 1995 yang cuma Rp 215 juta -- dan Suparsa berobsesi membangun jaringan telepon dalam jangka panjang. "Saya akan membuat teknologi yang lebih canggih menghadapi milenium 2000," tegas pria asal Singaraja ya ng siap meng-go international-kan perusahaannya itu. Maka, ia membutuhkan tenaga muda energik, yang akan direkrut lewat seminar-seminar. Siapa berminat?(o)
Lily G. Nababan/S. Ruslina.
Link tambahan
1.
http://www.sharingvision.biz/ , forum dari Lembaga Riset Telematika Bandung, Dimitri Mahayana
2.
http://transforma-institute.biz/ , COBIT forum untuk training workshop, Sarwono
3.
http://indocisc.com/, training security networking, Budi Raharjo.
4.
http://www.intersystem.biz/, pelatihan penggunaan piranti lunak audit ACL (Audit Command Language)