Fajar Baskoro, Pakar Teknologi Informasi dan Obsesinya
Ingin Jadikan Surabaya Smart City
Sukses membidani sistem penerimaan siswa baru (PSB) online dan pembangunan taman edupark ber-wifi di Taman Bungkul tak membuat Fajar puas. Pria yang menggeluti teknologi informasi (TI) sejak 1996 itu bercita-cita menjadikan Surabaya sebagai smart city.
Kapan Anda memulai penerapan konsep ICT (information and communication technology) untuk Kota Surabaya?
Pada Februari 2004, saya mendapat kesempatan dari UNESCO mempelajari pengembangan ICT yang mudah, murah, dan cocok untuk negara berkembang atau setengah modern. Selama sebulan saya mempelajari hal itu di The Abdus Salam International Centre for Theoretical, Italia. Ketika pulang, saya mulai menerapkannya di Surabaya.
Apa yang Anda lakukan di sana?
Survei kebutuhan. Misalnya, kita belum memiliki infrastruktur. Modal kita adalah mahasiswa informatika, kursus-kursus komputer, penghobi, dan komunitas. Misalnya, komunitas hacker. Dari situ, saya mulai memetakan bagaimana kita bisa membangun masyarakat yang otonom ber-IT (information technology) dengan resource atau potensi yang ada. Saya ingin membangun IT secara mudah, murah, dan bisa dipakai masyarakat. Kalau berhasil, hal itu juga bisa mengurangi beban biaya yang ditanggung masyarakat ketika harus menggunakan makelar ICT.
Bisa Anda jelaskan tentang makelar ICT?
Saat ini, sebagian besar orang terpaksa meminjam banyak tangan untuk menikmati ICT. Entah itu di dunia pendidikan, konsultan, dan lain-lain. Para makelar tersebut menjual ICT melebihi kemampuan masyarakat sehingga banyak program yang tidak jalan. Misalnya, percakapan ke luar negeri per menit bisa memakan biaya Rp 5 ribu. Padahal, sebenarnya ada sarana yang bisa membuat biaya percakapan itu menjadi Rp 1.000 per menit. Nah, siapa yang menyembunyikan? Maka, saya mulai memetakan siapa yang dapat diajak bekerja sama dan tidak. Hasilnya, yang bisa saya ajak kerja sama, baik secara sukarela maupun terpaksa, adalah mahasiswa saya.
Berapa lama pemetaan itu berlangsung?
Pemetaan yang saya lakukan membutuhkan waktu sekitar setahun. Saya lakukan tepat setelah pulang dari Italia. Dari situ lahir beberapa teknologi alternatif. Salah satu di antaranya adalah akses internet dengan teknologi mesin faksimile. Kita bisa mengakses internet hanya dengan handphone yang harganya Rp 200 ribu atau 300 ribu plus mesin faksimile seharga Rp 600 ribu. Program itu connect ke server, tapi akhirnya mati karena tidak ada yang tertarik. Tidak apa-apa, dalam membangun masyarakat yang melek ICT, saya memang tidak menggunakan sistem top-down.
Pendekatan apa yang Anda gunakan?
Saya mengutamakan kebiasaan orang. Saya tidak membangun hardware dan aturan dulu. Kalau orang lebih mudah pakai SMS (short message service), saya tidak akan mengubah itu. Saya ingin agar teknologi yang ada tetap digunakan. Karena itu, saya membuat teknologi yang bisa memahami kebiasaan orang. Bukan orang yang disuruh memahami kebiasaan teknologi.
Pada saat bersamaan, kita juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat dengan membangun brainware-nya. Misalnya, penerimaan siswa baru (PSB) online. Dengan sistem itu, masyarakat mulai dipaksa untuk membuka website.
Apa sajakah potensi Surabaya menurut hasil survei Anda selama setahun?
Surabaya merupakan kota dengan aktivitas terpadat nomor dua setelah Jakarta. Penerbangan internasional bisa langsung ke (bandar udara) Juanda. Artinya, apabila kegiatan surat-menyurat sudah oke, untuk sampai ke presentasi bisnis atau kegiatan apa pun, semua sudah bisa dilakukan di Surabaya. Jangan lupa, Surabaya juga memiliki kekuatan, kalau bahasa sekarangnya bonek (bondo nekat). Bambu runcing saja menang melawan senjata sekutu. Karena itu, saya yakin dan selalu menekankan kepada mahasiswa bahwa kita bisa maju dan menjadi seperti Singapura. Banyak yang dapat kita kembangkan. Tak hanya pendidikan, tapi juga bisnis.
Akhirnya Anda mengonsep taman kota yang dilengkapi fasilitas wifi. Apa tujuan Anda?
Saya hanya memberikan nilai tambah pada infrastruktur yang ada. Taman merupakan salah satunya. Saya bekerja dengan banyak orang yang memiliki kesamaan ide. Misalnya, Bu Risma (kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya Tri Risma Harini, Red). Kami ingin mengubah fungsi taman bukan hanya tempat untuk bermain, tapi juga sarana bisnis, pendidikan atau edupark, serta laboratorium pengembangan teknologi atau technopark.
Saya contohkan, sekarang orang ribut tentang 3G. Tapi, belum banyak yang bisa menggunakan. Nah, kalau diletakkan di taman, orang bisa mulai menilai. Jadi, edukasi dulu baru pengenalan teknologi, bukan sebaliknya.
Anda melihat edukasi sebagai poin utama?
Saya ingin memberikan sarana praktikum agar masyarakat kenal dengan teknologi informasi dan bisa memanfaatkannya. Sekarang kita lihat, data GPRS pun tidak banyak dimanfaatkan karena orang tidak kenal. Padahal, kita punya potensi yang luar biasa. Mereka yang ingin tahu tentang komputer dan informatika banyak. Saya yakin semua orang ingin belajar, tapi mungkin terkendala karena tak punya waktu. Bagaimana kalau hal itu bisa disiasati? Kalau kita bisa belajar di taman sambil malam mingguan, apa orang masih punya alasan untuk tidak belajar?
Saat ini yang beroperasi baru Taman Bungkul. Yang lain?
Kita juga menggarap Kebun Bibit, taman di Jl Sulawesi, sekitar Al Falah, Kebun Binatang Surabaya, serta Taman Surya. Nanti akan ditambah kalau memang ada orang yang mau mewakafkan tanahnya.
Apa Anda melihat masyarakat sudah mulai tertarik?
Orang-orang masih menganggap teknologi informasi mahal karena tidak tahu. Sebenarnya murah asal tahu caranya dan mau melakukan. Banyak yang tahu tapi tidak mau melakukan dan banyak yang mau tapi tidak tahu caranya. Siapa bilang untuk menikmati wifi harus punya laptop? Kalau kita sediakan tempat dan vendor mau datang, apa orang tidak lantas tinggal pakai? Mobil training unit juga akan keliling. Orang cukup antre untuk menikmati wifi.
Soal keberhasilan, biar orang lain yang menilai. Saya hanya ikhtiar. Kalau diminta mengukur keberhasilan, tidak usah kita berorientasi pada berapa banyak orang yang menggunakan. Saya tidak berorientasi ekonomi, tapi pengetahuan. Meski hanya satu orang, tapi dia mau belajar, kenapa tidak kita layani? Tapi, mudah-mudahan pada awal 2009 kita semua sudah bisa merasakan benefit-nya.
Selain menggarap taman kota, apa rencana yang Anda susun untuk Surabaya?
Saya ingin Surabaya menjadi kota transit dan smart city. Di Surabaya, komunikasi harus mudah, akses informasi murah dan cepat, dan tidak ada atau jarang transaksi cash. Sebab, cash bisa menyebabkan tindakan korupsi.
Nah, modelnya nanti semacam ini (menunjukkan kartu berwarna hijau kebiruan), kartu segala macam, smart card.
Kami sudah membuatnya. Kartu itu diluncurkan pada 10 Agustus 2007, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Teknologi. Kartu tersebut bisa diisi berapa pun, Rp 100 ribu boleh, Rp 1 juta bisa. Kartu itu juga bisa digunakan untuk transaksi apa pun. Mulai membayar makan, membuat akta kelahiran, dan lain-lain. Tujuannya baik, agar tak ada hidden cost (pembayaran tersembunyi, Red). Kalau pengeluarannya Rp 50 ribu, bayar Rp 50 ribu saja. Tiga titik telah siap, pemkot, ITS, dan operator.
Bagaimana mekanisme kerja smart card?
Nanti saja tunggu 10 Agustus. Yang jelas, kartu itu serbabisa dan dapat diisi berapa pun lewat bank. Arahnya digital money. Asal ada alat gesek seperti di toko-toko, semua transaksi bisa dilakukan. Simpel kan? Teman-teman saya yang belajar di The Abdus Salam International Centre for Theoretical juga mau menyumbang dalam bentuk investasi. Rata-rata mereka direktur riset dan industri.
Kembali tentang teknologi informasi. Anda punya data tentang kemampuan masyarakat Surabaya?
Saya tidak memiliki data pastinya. Tapi, di antara sekitar 4 juta penduduk, belum ada 10 persen yang melek komputer. Yang menenteng komputer dan communicator banyak. Tapi, yang melek dan benar-benar bisa memanfaatkan belum banyak. Maka, saat ini saya juga sedang menyusun konsep wimax.
Bisa Anda jelaskan?
Wimax adalah wifi dengan jangkauan yang lebih luas, bisa satu kota. Mau di bus, kantor, di mana saja bisa mengakses. Biayanya murah dan bisa sesuai kemampuan orang. Kalau gratis, saya khawatir malah tidak berkelanjutan. Kalau orang yang gajinya Rp 10 juta digratiskan, tentu tidak fair. Tapi, edukasinya akan digratiskan selama tiga bulan di lima tempat. Singapura dan Malaysia sudah menerapkannya.
Sejauh mana Anda mempersiapkan konsep wimax?
Saya sudah survei ke Singapura dan Bandung. Beberapa informasi saya dapatkan dari internet. Saya juga sudah mencari sinyal mana yang masih kosong, blank spot, yang masih strategis untuk ditancapkan teknologi wimax.
Promosinya menjadi tugas Anda. Saya adalah periset yang bertugas memberi contoh. Kalau saya ditanya mengenai promosi, saya tidak punya jawaban dan saya memang tidak mengurusi hal itu. Saya menyiapkan pilot project-nya saja biar orang lain yang melanjutkan.
Bukankah pengenalan juga salah satu tantangan utama?
Tantangannya ada dua. Pertama edukasi karena ego sektoral di masing-masing bidang masih kental. Sulit berkoordinasi dan membuat inisiatif di antara pihak-pihak yang terkait satu sama lain. Misalnya, dinas-dinas pemkot, institusi pendidikan, pengusaha, atau sektor perdagangan.
Tantangan kedua adalah sosialisasi. Dengan sistem baru, akan ada pendapatan pribadi atau kewenangannya yang berkurang. Misalnya, ketika KTP online diterapkan. Biasanya, ada harga tidak resmi, katakanlah Rp 500 ribu. Dengan online, biayanya menjadi resmi semua.
Apa yang bisa dilakukan dengan tantangan itu?
Kita harus banyak melakukan silaturahmi dan menjelaskan dengan lebih baik kepada semua pihak. Dulu PSB juga begitu. Semua orang ketakutan dengan PSB online. Sekarang, orang tua dan siswa tak perlu lagi repot datang ke sekolah untuk memantau hasil PSB. Tinggal buka di situs. Mereka tak usah ditentang, ditunjukkan saja manfaatnya. (anita rachman)
--------------------------------------------------------
Minggu, 15 Juli 2007
Kenalkan Teknologi pada Keluarga sejak Dini
Afif Daffitra Baskoro, putra pertama Fajar Baskoro, memang baru duduk di kelas satu SD Hidayatullah, Kejawan Putih Tambak. Namun, kemampuan bocah berusia enam tahun itu dalam menjelajah dunia maya mungkin tak kalah dengan bocah yang usianya jauh lebih tua. Daffa -sapaan akrabnya- sudah mahir chatting serta mengambil berbagai item dari dunia maya.
Saat gandrung dengan tokoh fiksi Spider-man, dia mampu menjelajah situs-situs jagoannya itu lewat search engine. Dari berbagai situs yang dia temukan, Daffa mengambil dan mencetak berbagai poster jagoan berkostum merah-biru itu. "Saya memperkenalkan teknologi sejak usia anak-anak saya nol tahun," kata Fajar.
Pria yang hobi membaca tersebut memang bertekad mendidik anaknya melek IT sejak dini. Saat Yuni Rahayu mengandung, Fajar kerap kali memperdengarkan lagu-lagu lewat MP3 pada sang jabang bayi. Internet pun menjadi hal wajib di rumahnya, Jalan Teknik Informatika Blok W-22 Perumahan Dosen ITS.
Ada dua komputer di rumahnya yang bisa "dimainkan" Daffa dan adiknya, Dareen Aesyha Baskoro. Communicator dan notebook pun menjadi teman bermain kedua anaknya. "Saat belum bisa baca, dia (Daffa, Red) sudah bisa men-start dan shut down komputer," sambung pria yang kini menantikan kelahiran anak ketiga itu.
Dia mengaku tak terlalu mengajari anaknya secara detail. Terkadang dia hanya menunjukkan sekali, lantas anaknya mencoba-coba sendiri. Fajar cukup mengajari Daffa, karena putra pertamanya itu akan menyalurkan ilmu yang dia dapat kepada sang adik. Fajar mengatakan, Dareen yang kini duduk di bangku taman kanak-kanak sedang getol memainkan berbagai game flash di komputer.
Yang paling telaten mengajari kedua buah hati dosen ITS tersebut tentu saja Yuni Rahayu, sang istri. Yuni mengatakan, dialah yang sering menjadi juru baca bagi anaknya saat menjelajah dunia maya. "Kalau ada yang susah, mereka minta saya ajari. Alhamdulillah sekarang bisa baca sendiri," kata Yuni, yang memang memiliki banyak waktu luang.
Fajar biasanya memperkenalkan teknologi baru kepada putranya sambil bekerja. "Saya biasanya bekerja lewat tengah malam, tapi Daffa sering kali ikut," akunya.
Jam mulai tidur Fajar memang cukup "sore", yakni sekitar pukul 22.00. Namun, sekitar pukul 01.00, dia bangun dan mulai menggarap beberapa tugas. Daffa sering tak mau ketinggalan. Kalau sudah begitu, Daffa pasti mengantuk pada pagi dan harus membolos sekolah. "Mungkin dia juga bosan sekolah. Tak apa-apa, bisa belajar di rumah dengan saya," sambungnya.
Kini Fajar ingin agar anak-anaknya mulai belajar bahasa Inggris. Pasalnya, sebagian besar situs menggunakan bahasa internasional tersebut. Termasuk salah satu situs yang sering Daffa kunjungi, yakni jagoan lain dari negeri seberang, Power Rangers. (ara)
-----