Iskandar, Palapa, dan Visi Iptek

Iskandar, Palapa, dan Visi Iptek

IPTEK

NINOK LEKSONO

Dunia mengagumi Amerika, yang sukses mengombinasikan "daya juang meneliti" ilmuwan dan sifat "berani mengambil risiko" wirausahawan. (Sambutan Iskandar Alisjahbana selaku Ketua Majelis Wali Amanah ITB, 2000)

Sungguh tepatlah kalau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memberikan Penghargaan Sarwono Prawirohardjo kepada dua tokoh Indonesia, Prof Dr Emil Salim dan Prof Dr Ing Iskandar Alisjahbana, 22 Agustus. Dalam pengantarnya, Kepala LIPI Umar A Jenie menyebutkan, advokasi Emil Salim telah membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan, sedangkan Iskandar dinilai berjasa karena merintis inovasi teknologi yang kemudian mewujud pada Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa.

Kiprah dan pemikiran Emil Salim telah disampaikan di harian ini pada 22 Agustus dan "Forum Iptek" kali ini ingin mengangkat kembali visi Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa yang pernah dilontarkan oleh Iskandar dan menegaskan kembali betapa pentingnya visi masa depan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) seperti yang telah diperlihatkan Iskandar.

Empat dekade silam

Sebagai negara kepulauan dengan rentang geografi sekitar 5.300 kilometer, Indonesia tentu dihadapkan pada tantangan komunikasi yang luar biasa. Solusi terestrial, solusi kabel laut, telah membantu pengembangan komunikasi Tanah Air. Namun, keduanya membutuhkan upaya besar, lebih-lebih jika mengingat sifat geografis Indonesia yang archipelago, dengan wilayah terdiri dari pulau-pulau yang terpisah oleh laut.

Solusi dengan teknologi maju saat itu muncul, yaitu ketika perusahaan Telesat Kanada mempersiapkan satelit komunikasi domestik. Dengan meluncurkan satelit Anik A1 dengan roket Delta pada November 1972, Kanada menjadi negara pertama yang mengoperasikan SKSD. SKSD dipandang sebagai sistem yang andal, efektif, dan canggih (situs Telesat Kanada). Satelit Anik mengorbit di orbit geostasioner pada ketinggian sekitar 36.000 kilometer.

Di belahan dunia lain, pada 14 September 1968, ada cendekiawan Indonesia yang juga mencetuskan penggunaan sistem komunikasi satelit dalam pidato pengukuhan guru besar di Institut Teknologi Bandung. Dengan visi yang ia sampaikan itu, Iskandar melihat Indonesia dipersatukan oleh teknologi canggih yang tepat guna karena ia bisa mempersatukan penduduk yang tersebar di negara 17.500 pulau ini dengan prasarana telekomunikasi dan, karena itu, menumbuhkan rasa kebangsaan mereka.

Pemerintah mewujudkan gagasannya. Proyek satelit pun dimulai dan akhirnya berpuncak dengan peluncuran satelit Palapa A1, 8 Juli 1976. SKSD Palapa kemudian diresmikan Presiden Soeharto, 16 Agustus 1976. Dibandingkan dengan satelit komunikasi mutakhir dewasa ini, Palapa A1 tampak primitif karena hanya bisa menyalurkan siaran televisi dan SLJJ pada 40 kota di Indonesia. Namun, Palapa sudah menjadi lompatan teknologi bagi negara yang saat itu punya pendapatan per kapita 125 dollar AS (Buyung Wijaya Kusuma/Warnet 2000, 8 November 2005).

Indonesia saat itu menjadi negara ketiga di dunia setelah Kanada dan AS yang memanfaatkan satelit untuk sistem komunikasi domestik. China dan India, yang kini menjadi negara hebat di bidang ekonomi dan teknologi antariksa, pun waktu itu belum memikirkan untuk mengoperasikan SKSD.

Gagasan meluncurkan satelit untuk merevolusi komunikasi tampak visioner dan Pemerintah RI tampak penuh percaya diri menerapkan teknologi maju ini meskipun saat itu bangsa Indonesia belum makmur.

Visi iptek

Setelah Palapa, dalam perkembangan pemikiran kemudian, Iskandar mendapat banyak ilham dari tesis futuris Alvin Toffler mengenai Gelombang Peradaban (A Toffler, Third Wave, 1980). Selain meyakini bahwa Gelombang Ketiga—yang dicirikan oleh dominansi sejumlah teknologi, yakni bioteknologi dan rekayasa genetika, nuklir dan energi terbarukan, komunikasi dan pengolahan data, serta penerbangan dan eksplorasi ruang angkasa, yang semuanya memperlihatkan diri dengan nyata dewasa ini—Iskandar juga mengantisipasi sejumlah teknologi yang kini telah siap muncul di horizon.

Teknologi yang dimaksud antara lain adalah nano, superkonduktivitas suhu tinggi, dan fusi dingin. Teknologi nano yang kini semakin banyak ditelaah di Indonesia telah banyak ia kupas sejak tahun 1980-an. Wacana yang ia kemukakan waktu itu antara lain "bagaimana kita harus merespons munculnya pabrik yang bersih lingkungan dan efisien, mampu bekerja 24 jam nonstop?"

Kembali pada SKSD yang ia cetuskan, Palapa kini telah digantikan generasi satelit komunikasi yang lebih hebat, seperti Telkom-2, yang selain mampu menjadi tulang punggung transmisi (untuk SLJJ, SLI, internet, dan komunikasi militer), juga bisa untuk siaran (TV, radio, telekonferensi), dan akses (internet, distant learning, bisnis Vsat [untuk perbankan dan pertambangan]).

SKSD memperlihatkan keandalannya ketika terjadi bencana alam seperti gempa dan tsunami karena dapat terus berfungsi ketika jaringan terestrial hancur terkena bencana, seperti saat gempa di Aceh (2004) dan Taiwan (2006). Dengan Palapa—yang oleh Mark Crawford, wartawan ABC Radio, NSW, Australia, disebut "infrastrukturnya infrastruktur karena menjadi tulang punggung bagi industri telekomunikasi dan siaran TV"—ada semacam revolusi komunikasi di negeri ini.

Keyakinan terhadap pemanfaatan teknologi maju antariksa juga dapat dikatakan visioner karena sekarang ini pun mulai tampak upaya negara maju untuk meningkatkan eksplorasi ruang angkasa, baik sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing nasional maupun sebagai persiapan ke depan menyongsong satu masa ketika Bumi sudah tak mampu lagi menopang kehidupan sehingga manusia harus mencari ranah baru di the last frontier di luar Bumi.

Namun, sebelum itu, seorang Iskandar masih memegang visi yang "membumi". Dalam sambutannya ketika menerima penghargaan dari LIPI, Iskandar menegaskan lagi bahwa industri bioteknologi punya peluang untuk berkembang di Indonesia dan bersaing di tingkat global karena Indonesia memiliki sumber daya genetik melimpah.

Dalam perkembangan selanjutnya, lebih-lebih ketika menghadapi masa sulit seperti sekarang ini, bangsa Indonesia akan terus membutuhkan sosok visioner seperti Iskandar Alisjahbana dan Emil Salim, yang mampu dengan jernih melihat ke depan dan memberi saran kepada pemerintah dan para pemimpin mengenai apa yang seharusnya dilakukan, dalam hal ini memilih iptek yang paling jitu untuk membangun dan menyejahterakan bangsa Indonesia.

Pemerintah telah memilih enam bidang untuk menjadi lokomotif riset dan pengembangan. Namun, dalam pelaksanaannya, saran Iskandar dapat menjadi pegangan. Saran itu adalah agar peneliti dan lembaga penelitian meninggalkan "falsafah menara gading". Menurut Iskandar, Stanford University dan Massachusetts Institute of Technology telah lama meninggalkan falsafah di atas dan memberi dorongan bagi munculnya knowledge-economy yang berasal dari riset yang diuji di medan nyata, yakni pasar (Lihat sambutan Iskandar selaku Ketua MAW ITB, 2000, dalam Krisnamurti.net/Kompas, 23/8).

Visi kita pun hendaknya mengarah pada apa yang telah dicapai Amerika, yang bisa mengombinasikan "daya juang meneliti" ilmuwan dan sifat "berani mengambil risiko" wirausahawan, dan bukan bangsa yang hanya bisa mencetak "bangsawan" ilmu pengetahuan bertitel "ningrat akademis", tetapi tidak mampu berbuat apa-apa saat terpuruk.

www.kompas.com/kompas-cetak/0708/29/utama/3797043.htm

TechnoPark Kebun Bibit Bratang Surabaya 10 Agustus 2007















Konsep Surabaya Smart City yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya dan ITS kembali menampakkan hasil. Kali ini terlihat dari peresmian Technopark di Kebun Bibit Bratang Surabaya. Mulai Jumat (10/8) taman sekaligus kawasan wisata ini telah dilengkapi koneksi jaringan nirkabel (wireless) gratis yang bisa dinikmati oleh seluruh warga Surabaya. Acara ini diresmikan langsung oleh Walikota Surabaya Bambang DH. Surabaya, ITS Online - Dalam acara peresmian Technopark di Kebun Bibit Bratang pada Jumat (10/8) kemarin, hadir langsung Walikota Surabaya Bambang DH dan Wakil Walikota Arif Affandi. Program Surabaya Smart City ini adalah kerjasama antara Pemerintah Kota Surabaya dengan tim ITS yang dipelopori oleh dosen Teknik Informatika Fajar Baskoro S.Kom M.Kom.. Walikota Bambang DH sendiri berkesempatan untuk meresmikan salah satu proyek besar teknologi informasi di Surabaya ini.

Dengan diresmikannya Kebun Bibit Bratang sebagai Technopark ini, para pengunjung yang membawa laptop bisa mengakses jaringan wireless dengan gratis di sekitar kebun seluas 2,4 hektare itu. Tanggal 10 Agustus sendiri dipilih karena bertepatan dengan Hari Teknologi.

Di Kebun Bibit pada hari itu terlihat beberapa mahasiswa ITS yang menggunakan laptop untuk mencoba hotspot yang baru ini untuk berinternet. Walikota Bambang DH seusai meresmikan peluncuran Technopark ini berkesempatan meninjau langsung penggunaan jaringan yang ada, dan bertanya-tanya kepada para mahasiwa ITS tentang penggunaanya.

Komunitas teknologi informasi lain di Surabaya juga mulai memanfaatkan fasilitas hotspot di Kebun Bibit. Salah satunya adalah Kelompok Linux UPN (KLU) yang pada hari itu juga beramai-ramai mengunjungi Kebun Bibit dan mencoba koneksi wireless.

Sementara itu, Wakil Walikota Arif Affandi juga sempat berbincang-bincang dengan ketua jurusan Teknik Informatika ITS Yudhi Purwananto S.Kom yang juga hadir dalam acara ini. Mereka mendiskusikan tentang konsep teknologi informasi yang akan diterapkan di Surabaya dan kerja sama lebih lanjut anatara ITS dan Pemerintah Kota Surabaya. ”Ya nanti kita bisa brainstorming lagi untuk kerjasama lebih lanjut,” ujar Arif Affandi dengan tersenyum.

Para mahasiswa ITS yang sudah mencoba jatingan wireless di Kebun Bibit ini menyambut baik kehadiran Technopark ini. ”Akan lebih baik jika diimbangi koneksi yang stabil. Hanya saja, seringkali muncul bau yang tidak sedap. Namun seiring waktu, menurut saya, Technopark tersebut akan kondusif dan dapat menjadi lokasi yang nyaman bagi pengguna ICT,” terang Sari, salah seorang mahasiswa ITS yang hadir dalam peluncuran Technopark ini.

Di Kebun Bibit sendiri selain akses wireless, juga disediakan tempat untuk diskusi dan seminar, terutama tentang teknologi informasi. Fasilitas ini bisa dipakai oleh warga Surabaya, tentunya setelah mendapat izin dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan selaku pengelola Kebun Bibit Bratang.

Sebelum peluncuran di Technopark di Kebun Bibit Bratang ini, program Surabaya Smart City oleh Pemkot dan ITS juga telah meluncurkan hotspot di Taman Bungkul dan kartu serba guna Smart Card. Seperti di Kebun Bibit ini, di Taman Bungkul warga Surabaya juga bisa mengakses jaringan wireles di sana. (rif/jie)

Launching Prototype SIN


ITS KENALKAN SMART CARD IDENTIFICATION NUMBER

HUMAS-ITS

Bertepatan dengan peringatan Hari Teknologi yang jatuh pada 10 Agustus, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengenalkan Smart Card Identification Number (SCIN) yang memiliki berbagai fungsi atau multifungsi, Jumat (10/8).

Dengan teknologi pemprograman yang dikembangkan oleh pakar ICT ITS, Fajar Baskoro SKom MT, SCIN ini antara lain bisa difungsikan sebagai alat pembayaran, alat identitas, maupun alat komunikasi.

”Namun, untuk penerapan SCIN ini masih perlu dilakukan edukasi lebih dulu kepada masyarakat. Karena tak semua masyarakat siap memanfaatkannya dengan baik,” kata dosen Fakultas Teknologi Informatika (FTIf) ITS ini saat pengenalan SCIN di Rektorat ITS, kemarin.

Sebagai langkah awal untuk mengedukasi masyarakat, ITS menggandeng Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai kartu identitas. ”Saat ini kami memang masih mendiskusikan penggunaan smart card ini di kalangan anggota koperasi, kemungkinan nantinya akan diterapkan lebih dulu pada koperasi petani,” jelas Adi Sasono, Ketua Umum Dekopin yang juga hadir di Rektorat ITS, kemarin.

Mantan Menteri Koperasi ini mengatakan, dengan menggunakan SCIN ini, para petani bisa saling berdiskusi atau pun bertukar informasi. ”Seperti saling menginfokan harga hasil kebun di pasaran, harga pupuk atau pun bibit tanaman. Sehingga mereka juga bisa sharing tentang permasalahan yang dihadapi,” tuturnya mencontohkan.

Diungkapkannya, saat ini anggota koperasi petani di Indonesia mencapai 21 juta orang. Sehingga keberadaan kartu pintar ini diharapkan bisa lebih mempermudah komunikasi di antara mereka.

Namun ke depannya, menurut Adi Sasono, diharapkan semua koperasi juga bisa memanfaatkan smart card ini. Apalagi saat ini Dekopin juga telah mengujicobakan sistem online di kalangan koperasi nelayan di Jawa Tengah yang dinamakan Koperasi Indonesia Seluler. ”Sekarang ini tanpa digitalisasi, ekonomi kerakyatan tetap akan terpuruk kondisinya,” tandas Adi Sasono yang juga menyempatkan diri berkunjung di ruang IT ITS dan JICA Predict ITS.

Saat ini, di Indonesia terdapat sebanyak 134 ribu koperasi dari berbagai bidang yang berada di bawah pengawasan Dekopin. Dengan jumlah anggota sebanyak 30 juta orang.

Menurut Fajar Baskoro, selain dengan Dekopin, pihaknya juga mengembangkan SCIN ini dengan Pikti-ITS dan komunitas dari Ilmu Komputer.com. ”Kartu ini nantinya bisa diwujudkan bermacam-macam sesuai lembaga yang menggunakannya, tapi programnya tetap sama,” beber Direktur Research Institute for Web and Mobile Application (RIMA).

Untuk proses edukasi ke masyarakat, Fajar menargetkan tahun 2007 ini bisa diselesaikan. Sehingga pada tahun 2008 sudah bisa diterapkan secara keseluruhan di semua tempat.

Nantinya, untuk mendapatkan SCIN, masyarakat cukup datang ke kantor pos terdekat dan membeli kartu Syar’i dari Bank Muamalat seharga nilai yang dipilih. Nominal tersebut dapat dipakai langsung di tempat-tempat yang telah memiliki SCIN reader.
Sementara itu, Pembantu Rektor (PR) IV ITS Ir Eko Budi Djatmiko MSc PhD mengatakan, ITS akan mendukung sepenuhnya penerapan SCIN di masyarakat ini. Terutama yang terkait dengan masalah pendidikan.

Sedangkan dengan Dekopin, ITS juga berencana melakukan kerjasama untuk pengembangan sistem informasi lebih lanjut. ”Dalam sebulan ini, kami usahakan penandatanganan MoU kerjasama itu sudah bsia ditandatangani,” ujarnya. (HUMAS-ITS, 10 Agustus 2007)
Launching SmartCity Card - Smart Identification Number

Launching SmartCity Card - Smart Identification Number

info teknologi21 Juli 2007, 15:22:09, Laporan Yuyun Dwi Puspitasari

Hari Teknologi, Surabaya Menjadi Smart City

suarasurabaya.net| Bertepatan dengan Hari Teknologi 10 Agustus mendatang Surabaya akan menjadi Smart City yang ramah teknologi. Surabaya akan dilengkapi jaringan Wi-fi terbesar di seluruh penjuru kota, yang bisa digunakan dimanapun, kapanpun dengan biaya murah.

FAJAR BASKORO peneliti ICT dari ITS pada MARTHA reporter Suara Surabaya, Sabtu (21/07), mengatakan, Surabaya juga akan dilengkapi dengan Technopark di Taman Flora Kebun Bibit. Masyarakat bisa mengakses internet dan juga mengakses perkembangan teknologi.

10 Agustus mendatang akan diluncurkan 100 Smart Card yang memiliki banyak fungsi. Surabaya Smart City akan diluncurkan di Kebun Bibit.

Kedepan, Surabaya Smart City akan mengembangkan fixed cost pembiayaan pembelian sarana dengan harga yang sama yakni harga resmi. Selain itu, juga akan disusul pengembangan KTP online untuk akses data penduduk di Surabaya secara on line.(yyn/ipg)
Prototype SIN - IP Versi 6

Prototype SIN - IP Versi 6

JAwa Pos, Sabtu, 28 Juli 2007,
Smart Card Siap Diluncurkan

SURABAYA - Langkah besar Surabaya agar menjadi smart city atau kota pintar dimulai. Bentuknya peluncuran smart card identification number (SCIN) pada 10 Agustus mendatang di Techno Park, Kebun Bibit. Kemarin, pakar teknologi informasi (TI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Fajar Baskoro menunjukkan prototipe SCIN.

Fajar menjelaskan, SCIN adalah kartu pintar multifungsi. Sebagai identitas atau tanda pengenal, pembayaran, serta komunikasi. "Termasuk membayar sekolah dan menikmati fasilitas Techno Park," katanya. Saat ini telah dibuat sekitar 100 SCIN. Mereka yang telah terverifikasi dapat langsung mengantongi SCIN.

Selain di Kebun Bibit, SCIN siap dioperasikan di tiga titik lain, yakni ITS, Bagian Bina Program, dan Dinas Pendidikan. Selanjutnya, SCIN siap pula dioperasikan di lingkup Dinas Pertamanan.

Untuk mendapatkan SCIN, masyarakat cukup datang ke kantor pos terdekat dan membeli kartu syar’i dari Bank Muamalat seharga nilai yang dipilih. Pembeli akan diberi semacam formulir mengenai data diri. Data pembeli lantas dikirim ke pusat data lewat pesan pendek (SMS). Pesan pendek akan dibalas dengan informasi tempat pengambilan SCIN.

Ada empat jenis isian SCIN. Yakni kelas A (Rp 750 ribu), kelas B (Rp 300 ribu), kelas C (Rp 150 ribu), dan kelas D (Rp 15 ribu). Nominal tersebut dapat dipakai langsung di titik-titik yang telah memiliki SCIN reader.

SCIN juga dapat digunakan untuk menikmati pelajaran di Techno Park. Mulai bulan depan, Kebun Bibit siap disambangi setiap hari sebagai pusat TI. Berbagai pelatihan TI siap dinikmati masyarakat. Telah disediakan sebuah ruang, mirip kelas, yang dilengkapi dengan proyektor dan layar. Kelas terbuka di beberapa area Kebun Bibit juga akan dipakai sebagai tempat diskusi teknologi. "Mahasiswa akan bergiliran datang memberikan pengajaran," kata pria asal Blitar itu.

Techno park bakal terbuka bagi para pengusaha kecil atau mereka yang bergerak di koperasi. Diungkapkan Fajar, mereka akan mendapatkan pengajaran khusus mengenai e-commerce agar mampu bertransaksi lewat internet.(ara)
ICTRI, ICT untuk Rakyat Indonesia

ICTRI, ICT untuk Rakyat Indonesia

Fajar Baskoro: Teknologi Harus Melayani Masyarakat

15 Maret 2005 12:45:08

Selain mengajar dosen ini juga rajin melakukan penelitian, terutama untuk aplikasi mobile, yang menjadi spesialisasinya. Berkat keseriusanya ini pula ia diundang ke Italia untuk mempresentasikan hasil karyanya beberapa waktu lalu.

Teknik Informatika, ITS Online - Teknologi, terutama teknologi informasi harus mempunyai manfaat bagi masyarakat luas. Karena itu, Fajar Baskoro S.Kom M.T., dosen teknik informatika sekaligus kepala laboratorium Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) ini mengarahkan penelitian lab RPL pada arah penelitian software mobile dan internet yang bisa dinikmati rakyat dengan mudah dan memilki prospek bagus ke depan..

Hasil penelitian dosen ini sudah banyak yang dimanfaatkan dan hampir semuanya berbasis mobile. Teknologi mobile sendiri bisa dinikamti melalui telepon seluler mau pun PDA. Mulai dari sistem kampanye interaktif melalui media telepon seluler yang telah dimanfaatkan salah satu partai peserta pemilu 2004, hingga Sistem Pemantau Pemilu 2004 "Mata Elang" dipublikasikan 3 April lalu. Dengan sistem ini, rakyat bisa mengirimkan SMS untuk melaporkan pelanggaran kampanye maupun saat pemungutan suara.

Berkat kerja keras dan penelitianya ini Fajar Baskoro diundang ke Trieste, Italia untuk mempresentasikan risetnya tentang teknologi SMS Pemilu dan internet menggunakan mesin faksimili pada 14-25 April lalu. Fajar menghadiri acara yang diadakan International Center for Teoritical Physic (ICTP) dan didukung UNESCO itu bersama dua peneliti lainnya dari Indonesia."Untuk diundang di acara itu yang diseleksi adalah manfaat penelitian kita bagi masyarakat, " jelasnya.

Saat ini Fajar juga ditunjuk untuk menjadi Direktur RIMA (Research Institute for Web and Mobile Application) , yang meneliti pemanfaatan teknologi informasi pada peralatan mobile dan internet. Salah satu proyek yang sedang ia kerjakan bersama mahasiswa bimbingannya di laboratorium RPL adalah aplikasi yang memungkinkan akses internet offline."Masyarakat tinggal mengirimkan alamat web lewat SMS dan kemudian web itu bisa diakses secara offline," cerita ayah dua anak ini.

Ketika kuliah dahulu diketahui Fajar juga aktif di organisasi kemahasiswaan ,yakni Himpunan Mahasiswa Teknik Computer-Informatika (HMTC) dan JMMI, bahkan mahasiswa angkatan 1993 ini sempat menjadi sekertaris umum HMTC. "Kegiatan di luar kuliah itu sangat penting untuk mengembangkan pribadi kita dan melatih kita menghadapi orang lain," terang pria yang juga menjadi ketua Program Studi Ekstensi Teknik Informatika ini.

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Teknik Informatika , pria kelahiran Blitar ,3 April 1974 ini melanjutkan kuliah S2 di ITB. "Dana untuk kuliah S2 itu saya dapatkan dari bantuan beasiswa pemerintah" katanya. Di ITB ia mengambil spesialisasi rekayasa perangkat lunak yang kini menjadi keahliannya.

Di sela-sela kesibukannya sebagai peneliti dan dosen Teknik Informatika , Fajar secara rutin juga menulis opini dan berita untuk beberapa media massa seperti harian Kompas, Jawa Pos, Surabaya News dan Surya. Tak heran tulisannya kerap mewarnai berbagai halaman surat kabar itu."Saya berusaha untuk menulis secara rutin dan bergilir untuk media-media itu," terang Fajar.(rif/ryo)

Surabaya SmartCity - Membangun Brainware melek IT

Surabaya SmartCity - Membangun Brainware melek IT

Jawa Pos Minggu, 15 Juli 2007,
Fajar Baskoro, Pakar Teknologi Informasi dan Obsesinya

Ingin Jadikan Surabaya Smart City
Sukses membidani sistem penerimaan siswa baru (PSB) online dan pembangunan taman edupark ber-wifi di Taman Bungkul tak membuat Fajar puas. Pria yang menggeluti teknologi informasi (TI) sejak 1996 itu bercita-cita menjadikan Surabaya sebagai smart city.



Kapan Anda memulai penerapan konsep ICT (information and communication technology) untuk Kota Surabaya?

Pada Februari 2004, saya mendapat kesempatan dari UNESCO mempelajari pengembangan ICT yang mudah, murah, dan cocok untuk negara berkembang atau setengah modern. Selama sebulan saya mempelajari hal itu di The Abdus Salam International Centre for Theoretical, Italia. Ketika pulang, saya mulai menerapkannya di Surabaya.


Apa yang Anda lakukan di sana?

Survei kebutuhan. Misalnya, kita belum memiliki infrastruktur. Modal kita adalah mahasiswa informatika, kursus-kursus komputer, penghobi, dan komunitas. Misalnya, komunitas hacker. Dari situ, saya mulai memetakan bagaimana kita bisa membangun masyarakat yang otonom ber-IT (information technology) dengan resource atau potensi yang ada. Saya ingin membangun IT secara mudah, murah, dan bisa dipakai masyarakat. Kalau berhasil, hal itu juga bisa mengurangi beban biaya yang ditanggung masyarakat ketika harus menggunakan makelar ICT.


Bisa Anda jelaskan tentang makelar ICT?

Saat ini, sebagian besar orang terpaksa meminjam banyak tangan untuk menikmati ICT. Entah itu di dunia pendidikan, konsultan, dan lain-lain. Para makelar tersebut menjual ICT melebihi kemampuan masyarakat sehingga banyak program yang tidak jalan. Misalnya, percakapan ke luar negeri per menit bisa memakan biaya Rp 5 ribu. Padahal, sebenarnya ada sarana yang bisa membuat biaya percakapan itu menjadi Rp 1.000 per menit. Nah, siapa yang menyembunyikan? Maka, saya mulai memetakan siapa yang dapat diajak bekerja sama dan tidak. Hasilnya, yang bisa saya ajak kerja sama, baik secara sukarela maupun terpaksa, adalah mahasiswa saya.


Berapa lama pemetaan itu berlangsung?

Pemetaan yang saya lakukan membutuhkan waktu sekitar setahun. Saya lakukan tepat setelah pulang dari Italia. Dari situ lahir beberapa teknologi alternatif. Salah satu di antaranya adalah akses internet dengan teknologi mesin faksimile. Kita bisa mengakses internet hanya dengan handphone yang harganya Rp 200 ribu atau 300 ribu plus mesin faksimile seharga Rp 600 ribu. Program itu connect ke server, tapi akhirnya mati karena tidak ada yang tertarik. Tidak apa-apa, dalam membangun masyarakat yang melek ICT, saya memang tidak menggunakan sistem top-down.


Pendekatan apa yang Anda gunakan?

Saya mengutamakan kebiasaan orang. Saya tidak membangun hardware dan aturan dulu. Kalau orang lebih mudah pakai SMS (short message service), saya tidak akan mengubah itu. Saya ingin agar teknologi yang ada tetap digunakan. Karena itu, saya membuat teknologi yang bisa memahami kebiasaan orang. Bukan orang yang disuruh memahami kebiasaan teknologi.

Pada saat bersamaan, kita juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat dengan membangun brainware-nya. Misalnya, penerimaan siswa baru (PSB) online. Dengan sistem itu, masyarakat mulai dipaksa untuk membuka website.


Apa sajakah potensi Surabaya menurut hasil survei Anda selama setahun?

Surabaya merupakan kota dengan aktivitas terpadat nomor dua setelah Jakarta. Penerbangan internasional bisa langsung ke (bandar udara) Juanda. Artinya, apabila kegiatan surat-menyurat sudah oke, untuk sampai ke presentasi bisnis atau kegiatan apa pun, semua sudah bisa dilakukan di Surabaya. Jangan lupa, Surabaya juga memiliki kekuatan, kalau bahasa sekarangnya bonek (bondo nekat). Bambu runcing saja menang melawan senjata sekutu. Karena itu, saya yakin dan selalu menekankan kepada mahasiswa bahwa kita bisa maju dan menjadi seperti Singapura. Banyak yang dapat kita kembangkan. Tak hanya pendidikan, tapi juga bisnis.


Akhirnya Anda mengonsep taman kota yang dilengkapi fasilitas wifi. Apa tujuan Anda?

Saya hanya memberikan nilai tambah pada infrastruktur yang ada. Taman merupakan salah satunya. Saya bekerja dengan banyak orang yang memiliki kesamaan ide. Misalnya, Bu Risma (kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya Tri Risma Harini, Red). Kami ingin mengubah fungsi taman bukan hanya tempat untuk bermain, tapi juga sarana bisnis, pendidikan atau edupark, serta laboratorium pengembangan teknologi atau technopark.

Saya contohkan, sekarang orang ribut tentang 3G. Tapi, belum banyak yang bisa menggunakan. Nah, kalau diletakkan di taman, orang bisa mulai menilai. Jadi, edukasi dulu baru pengenalan teknologi, bukan sebaliknya.


Anda melihat edukasi sebagai poin utama?

Saya ingin memberikan sarana praktikum agar masyarakat kenal dengan teknologi informasi dan bisa memanfaatkannya. Sekarang kita lihat, data GPRS pun tidak banyak dimanfaatkan karena orang tidak kenal. Padahal, kita punya potensi yang luar biasa. Mereka yang ingin tahu tentang komputer dan informatika banyak. Saya yakin semua orang ingin belajar, tapi mungkin terkendala karena tak punya waktu. Bagaimana kalau hal itu bisa disiasati? Kalau kita bisa belajar di taman sambil malam mingguan, apa orang masih punya alasan untuk tidak belajar?


Saat ini yang beroperasi baru Taman Bungkul. Yang lain?

Kita juga menggarap Kebun Bibit, taman di Jl Sulawesi, sekitar Al Falah, Kebun Binatang Surabaya, serta Taman Surya. Nanti akan ditambah kalau memang ada orang yang mau mewakafkan tanahnya.


Apa Anda melihat masyarakat sudah mulai tertarik?

Orang-orang masih menganggap teknologi informasi mahal karena tidak tahu. Sebenarnya murah asal tahu caranya dan mau melakukan. Banyak yang tahu tapi tidak mau melakukan dan banyak yang mau tapi tidak tahu caranya. Siapa bilang untuk menikmati wifi harus punya laptop? Kalau kita sediakan tempat dan vendor mau datang, apa orang tidak lantas tinggal pakai? Mobil training unit juga akan keliling. Orang cukup antre untuk menikmati wifi.

Soal keberhasilan, biar orang lain yang menilai. Saya hanya ikhtiar. Kalau diminta mengukur keberhasilan, tidak usah kita berorientasi pada berapa banyak orang yang menggunakan. Saya tidak berorientasi ekonomi, tapi pengetahuan. Meski hanya satu orang, tapi dia mau belajar, kenapa tidak kita layani? Tapi, mudah-mudahan pada awal 2009 kita semua sudah bisa merasakan benefit-nya.


Selain menggarap taman kota, apa rencana yang Anda susun untuk Surabaya?

Saya ingin Surabaya menjadi kota transit dan smart city. Di Surabaya, komunikasi harus mudah, akses informasi murah dan cepat, dan tidak ada atau jarang transaksi cash. Sebab, cash bisa menyebabkan tindakan korupsi.

Nah, modelnya nanti semacam ini (menunjukkan kartu berwarna hijau kebiruan), kartu segala macam, smart card.

Kami sudah membuatnya. Kartu itu diluncurkan pada 10 Agustus 2007, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Teknologi.
Kartu tersebut bisa diisi berapa pun, Rp 100 ribu boleh, Rp 1 juta bisa. Kartu itu juga bisa digunakan untuk transaksi apa pun. Mulai membayar makan, membuat akta kelahiran, dan lain-lain. Tujuannya baik, agar tak ada hidden cost (pembayaran tersembunyi, Red). Kalau pengeluarannya Rp 50 ribu, bayar Rp 50 ribu saja. Tiga titik telah siap, pemkot, ITS, dan operator.


Bagaimana mekanisme kerja smart card?

Nanti saja tunggu 10 Agustus. Yang jelas, kartu itu serbabisa dan dapat diisi berapa pun lewat bank. Arahnya digital money. Asal ada alat gesek seperti di toko-toko, semua transaksi bisa dilakukan. Simpel kan? Teman-teman saya yang belajar di The Abdus Salam International Centre for Theoretical juga mau menyumbang dalam bentuk investasi. Rata-rata mereka direktur riset dan industri.


Kembali tentang teknologi informasi. Anda punya data tentang kemampuan masyarakat Surabaya?

Saya tidak memiliki data pastinya. Tapi, di antara sekitar 4 juta penduduk, belum ada 10 persen yang melek komputer. Yang menenteng komputer dan communicator banyak. Tapi, yang melek dan benar-benar bisa memanfaatkan belum banyak. Maka, saat ini saya juga sedang menyusun konsep wimax.


Bisa Anda jelaskan?

Wimax adalah wifi dengan jangkauan yang lebih luas, bisa satu kota.
Mau di bus, kantor, di mana saja bisa mengakses. Biayanya murah dan bisa sesuai kemampuan orang. Kalau gratis, saya khawatir malah tidak berkelanjutan. Kalau orang yang gajinya Rp 10 juta digratiskan, tentu tidak fair. Tapi, edukasinya akan digratiskan selama tiga bulan di lima tempat. Singapura dan Malaysia sudah menerapkannya.


Sejauh mana Anda mempersiapkan konsep wimax?

Saya sudah survei ke Singapura dan Bandung. Beberapa informasi saya dapatkan dari internet. Saya juga sudah mencari sinyal mana yang masih kosong, blank spot, yang masih strategis untuk ditancapkan teknologi wimax.

Promosinya menjadi tugas Anda. Saya adalah periset yang bertugas memberi contoh. Kalau saya ditanya mengenai promosi, saya tidak punya jawaban dan saya memang tidak mengurusi hal itu. Saya menyiapkan pilot project-nya saja biar orang lain yang melanjutkan.


Bukankah pengenalan juga salah satu tantangan utama?

Tantangannya ada dua. Pertama edukasi karena ego sektoral di masing-masing bidang masih kental. Sulit berkoordinasi dan membuat inisiatif di antara pihak-pihak yang terkait satu sama lain. Misalnya, dinas-dinas pemkot, institusi pendidikan, pengusaha, atau sektor perdagangan.

Tantangan kedua adalah sosialisasi. Dengan sistem baru, akan ada pendapatan pribadi atau kewenangannya yang berkurang. Misalnya, ketika KTP online diterapkan. Biasanya, ada harga tidak resmi, katakanlah Rp 500 ribu. Dengan online, biayanya menjadi resmi semua.


Apa yang bisa dilakukan dengan tantangan itu?

Kita harus banyak melakukan silaturahmi dan menjelaskan dengan lebih baik kepada semua pihak. Dulu PSB juga begitu. Semua orang ketakutan dengan PSB online. Sekarang, orang tua dan siswa tak perlu lagi repot datang ke sekolah untuk memantau hasil PSB. Tinggal buka di situs. Mereka tak usah ditentang, ditunjukkan saja manfaatnya.
(anita rachman)