Heri Ruslan, Lukmanul Hakim
Penampilannya sangat santai dan tenang. Jauh dari kesan angker dan banyak mengerutkan dahi yang dicitrakan ilmu fisika. Ia tak tampak pula seperti seorang pakar fisika. Itulah Laksana Tri Handoko, fisikawan muda yang biasa bergulat mencari teori tentang partikel elementer.Doktor fisika lulusan Universitas Hiroshima, Jepang, itu kini menjadi peneliti di LIPI. Spesialisasi pilihannya jarang peminat, fisika teoritik. Berbagai penelitian bersumber dana bersifat mandiri banyak dilakukannya.
Dedikasi dan konsistensinya dalam bidang penelitian sering menghasilkan penghargaan. Akhir November lalu mewakili ilmuwan kelompok ilmu dasar fisika, Handoko meraih penghargaan Habibie Awards dari The Habibie Center (THC). Anugrah itu berupa medali berlapis emas bergambar foto Baharuddin Jusuf Habibie, pendiri THC. Selain itu dia juga menerima uang tunai 25 ribu dolar AS. Penghargaan atas pengabdiannya dalam dunia fisika itu merupakan usulan LIPI.
Fisika biasa jadi momok bagi mahasiswa. Apalagi mata kuliah fisika teoritik, khususnya soal partikel elementer, sangat sulit dipelajari. Tapi, cara penyampaian Handoko tak membuat mahasiswa terbebani. "Saya mengajarkan fisika secara santai," tuturnya. Di kalangan mahasiswa, ia dikenal sebagai dosen yang menyenangkan. Di tengah aktivitasnya yang padat, Handoko menerima wartawan Republika, Heri Ruslan, Lukmanul Hakim, dan fotografer Teguh Indra di ruang kerjanya Pusat Penelitian Fisika, Puspitek Serpong, Tangerang. Berikut petikan wawancaranya:
Apa yang membuat Anda jatuh cinta pada fisika?
Sejak SMA saya sudah punya ketertarikan pada fisika. Namun, sebenarnya saya lebih suka matematika. Yang jelas, saya tidak terlalu suka kimia dan bilologi. Waktu SMA, sebenarnya saya pernah ikut karya ilmiah remaja bidang Matematika di LIPI.
Yang menarik dari fisika mungkin saya nggak perlu ngapalin banyak, ha... ha... Banyak orang yang bilang fisika itu kering. Namun, waktu itu saya nggak berpikir sejauh itu. Awalnya, saya masuk Fisika ITB. Tapi saat bersamaan, waktu BJ Habibie jadi Menristek, ada program siswa lulusan SMA ke luar negeri pada 1987. Baru tiga bulan diterima di Fisika ITB, saya ternyata juga lulus tes sekolah ke luar negeri. Akhirnya, saya dikirim ke Jepang, kuliah di Universitas Kumamoto, jurusan Fisika. Karena kuliah di sana gratis dan malah dibayar pemerintah, akhirnya saya ambil yang di Jepang. Selain itu, orang tua saya juga tak terlalu mampu. Selesai kuliah tahun 1993.
Anda baru pulang ke Indonesia pada 2001, apa yang Anda kerjakan di luar negeri?
Setelah lulus dari Universitas Kumamoto, saya pindah ke Hiroshima. Waktu itu, saya mendapat beasiswa dari pemerintah Jepang. Saya melanjutkan kuliah di Universitas Hiroshima jurusan Fisika Teoritik. Waktu itu, ekonomi Indonesia agak berkurang, sehingga dana beasiswa juga berkurang. Saat itu angkatan saya sangat sulit mendapat beasiswa untuk meneruskan studi ke S2. Sehingga, kita harus mencari beasiswa sendiri. Setelah selesai mengambil master pada 1995, saya melanjutkan studi doktor di Universitas Hiroshima, mengambil Fisika Teoritik. Dan selesai, tahun 1998.
Setelah itu saya mengambil Postdoctoral Researcher di Trieste, Italia. Saya jadi peneliti pada The Abdus Salam Intl Center for Theoretical Physics. Kemudian saya juga mengambil Postdoctoral Researcher di Hamburg, Jerman. Saya memang tak langsung pulang ke Indonesia. Karena, saya harus mempersiapkan diri agar siap mental. Secara scientific saya harus siap jadi peneliti yang mandiri. Sebab, di Indonesia bidang saya hanya sedikit sehingga harus mandiri. Selain itu, yang lebih realistis adalah masalah ekonomi. Karena, kalau pulang saya nggak tahu dapat gaji berapa.
Seberapa besar sih gaji seorang peneliti di Indonesia?
Yang pasti nggak besar, dan memang betul-betul nggak besar. Jangan tanya berapa ya, ha... ha... Saya setahun lebih statusnya sama dengan PNS anak lulusan SMA. Jadi waktu itu, gaji saya sama dengan gaji tukang sapu, golongan II/A. Jadi, ya saya selevel tukang sapu gajinya ha... ha... Untuk ongkos naik bus saja, mungkin sudah tekor. Tapi, menurut saya nggak apa-apa karena buat saya itu sebuah dinamika. Makanya, saya sudah menyiapkan diri untuk itu.
Banyak orang Indonesia yang belajar di luar negeri dan langsung kerja di sana. Mengapa Anda memilih pulang?
Saya berkewajiban untuk pulang, karena kita ikatan dinas. Sangat prinsip saya harus pulang. Selain itu, saya dapat tawaran dari Pak Terry untuk membantu mengajar di Fisika UI. Karena waktu itu, Prof Darmadi Kusno meninggal.
Sejak awal, saya sudah memahami bahwa bidang saya itu tak perlu barang, tapi perlu orang. Perlu isi kepala. Harus selalu ada regenerasi dan membutuhkan orang muda. Karenanya, mahasiswa yang pintar itu sangat mutlak. Dalam konteks itu, saya sangat senang dapat kesempatan mengajar di UI.
Laksana Tri Handoko lahir 7 Mei 1968 di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Berayahkan Suyono, peternak, dan ibu Susasi (almarhumah), ia anak ketiga dari empat bersaudara. Dia memiliki bakat sebagai peneliti, karena keluarga dari sang ayah kebanyakan menjadi akademisi.
Terus terang, waktu itu pun saya sudah dapat pekerjaan yang permanen di salah satu universitas di Amerika sebagai dosen. Namun, bukan universitas yang sangat bagus. Meskipun di luar negeri, universitas yang medium pun sudah lumayan. Karena itu daripada saya kerja di luar negeri, lebih baik saya balik ke Indonesia dan bisa melakukan banyak hal di sini. Selain itu, secara ekonomi saya sudah merasa percaya diri.
Handoko, begitu ia akrab disapa, tak pernah bermimpi bisa sekolah di Jepang. "Saya ingin jadi presiden," ungkapnya soal cita-cita waktu kecil. Harus membantu sang ayah bekerja di peternakan, tak membuat prestasinya menurun. Semasa SMP dan SMA, ia selalu juara kelas.
Orang Indonesia kan senang ilmu-ilmu yang bersifat aplikatif, mengapa Anda memilih fisika teoritik?
Memang, fisika teoritik itu yang jelas masih minor di Indonesia, karena di Indonesia kebanyakan harus yang aplikatif. Itu hal yang lumrah. Namun, di negara maju, bidang ini sudah berkembang. Saya mengambil fisika teoritik, mungkin karena saya suka matematika. Terus terang saya lemah sekali di eksperimen. Saya nggak bisa pegang tabung. Pecah melulu, ha... ha... Kalau teoritik kan, kalau dulu cukup pensil dan kertas. Kalau sekarang asal ada komputer dan internet sudah cukup.
Anda juga banyak meneliti soal partikel, bisa dijelaskan mengapa tertarik dengan partikel?
Saya ini memang peneliti fisika partikel elementer. Saya meneliti apa dan bagaimana interaksi antarpartikel, maksudnya partikel elementer yang membentuk materi. Materi itu kan dibentuk oleh molekul-molekul. Kemudian, molekul itu ada unsur pembentuk seperti atom. Atom itu ada lagi unsur pembentuknya seperti elektron, proton, dan sebagainya. Nah, kalau saya itu meneliti pembentuk yang paling elementer dari itu yang sudah tidak bisa dilihat unsur pembentuknya lagi.
Saya itu, kerjanya membuat teori. Dalam jangka pendek memang manfaatnya belum bisa dirasakan. Apa yang saya lakukan tentu saja ada manfaat dan kegunaannya. Namun, jangka panjang. Orang yang membuat teori elektron pada tahun 1900-an, aplikasinya ketemu baru setelah transistor ditemukan tahun 1950-an. Yang saya kerjakan semacam itu.
Fisika partikel elementer itu itu paling basic. Semua teknologi itu ujungnya ke sana. Saya pikir karena sebagai ilmu basic atau ujungnya ilmu, mestinya di Indonesia harus ada. Tapi, kan jumlahnya tidak harus 10 ribu orang. Cukup 20 orang. Kalau ada 10 ribu insinyur teknik sipil, lima fisika teoritik itu sudah cukup. Komunitas kita masih kecil, dukungan psikologis dan apresiasi masih kurang. Mungkin, karena tidak langsung kelihatan hasilnya. Namun, tetap itu harus ada. Dalam fisika teoritik itu ada yang ahli partikel, nuklir, astrofisik. Di Indonesia, jumlahnya masih bisa dihitung jari.
Penelitian apa yang telah Anda lakukan?
Selama ini, saya melakukan riset di bidang Fisika Energi Tinggi atau biasa disebut Fisika Partikel. Saya melakukan kajian teoritik atas berbagai fenomena yang terjadi pada partikel elementer pembentuk materi.
Penelitian saya terfokus pada subbidang flavour physics, yaitu menyangkut beragam jenis kuark. Kuark merupakan salah satu partikel pembentuk materi paling elementer yang diketahui manusia saat ini. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana aneka fenomena di alam semesta saat ini, yang sudah diketahui dari eksperimen. Aplikasinya, mungkin 50 tahun lagi.
Dulu Anda pernah meneliti tentang Partikel Higgs, bagaimana hasilnya?
Betul, itu penelitian yang saya lakukan di Hamburg, Jerman. Partikel Higgs itu juga salah satu partikel elementer yang belum ketemu. Saat ini, diprediksi ada 16 partikel elementer. Hanya Higgs yang belum ketemu. Saat ini, kami memang tengah melakukan pencarian Higgs dan fenomena di neutrino.
Hasilnya, kita tinggal menunggu eksperimennya saja. Eksperimen baru akan dilakukan di Swiss tahun 2007. Itu biasa. Kalau orang teoritik telah selesai membuat teori, orang eksperimen belum mulai. Orang eksperimen memakai teori itu untuk menentukan arah eksperimennya mau kemana. Kalau eksperimen sudah jalan, teori itu biasanya sudah selesai. Teori itu selalu lebih maju 10 tahun dari eksperimen.
Penelitian apa yang tengah Anda garap sekarang?
Saya sedang meneliti tentang neutrino. Ini adalah salah satu partikel elementer juga. Neutrino itu lebih terkait pada astrofisika. Neutrino itu alam ini semua. Neutrino merupakan partikel yang paling kecil. Semua partikel apapun selalu meluruh jadi neutrino dan neutrino nggak bisa jadi apa-apa lagi. Alam raya ini full neutrino.
Apa yang Anda lakukan dengan neutrino?
Dalam neutrino itu ada fenomena yang bernama osilasi. Teorinya, selama ini neutrino tidak bisa berosilasi atau berubah bentuk. Nutrino itu ada tiga jenis; ada elektron, muon, dan tau. Selama ini, teorinya neutrino tak bisa berubah dari elektron menjadi muon. Namun, hasil eksperimen di Jepang dan Amerika ternyata bisa berubah.
Manfaatnya ke depan kira-kira apa?
Manfaat ke depan, kita bisa menjelaskan interaksi antarpartikel elementer. Bisa menjelaskan interaksi yang benar. Selama ini sudah ada, namun ada ketidakcocokan. Dengan eksperimen itu, teorinya harus dimodifikasi. Kita membuat teori itu sedikit demi sedikit. Dalam konteks ini, saya bisa berkiprah secara global. Karena ini ilmu yang bersifat universal. Jadi secara global, kita sederajat dengan mereka para ahli fisika dunia. Dengan hanya modal nasi pecel, maksudnya perut kenyang, ha... ha...
Handoko biasa melakukan penelitian dengan dana mandiri. Untuk itu ia menggandeng kolega dari luar negeri. Ketekunanannya meneliti sering membuahkan penghargaan. Sebulan sebelum memenangkan Habibie Award, ia memenangkan penghargaan sebagai juara terbaik dalam Research and Development, APICTA Indonesia. Handoko ketemu jodoh di Jepang. Ia menikahi gadis Indonesia Laila Andaryani, mahasiswa S2 Komunikasi Universitas Hiroshima. Arsya Asharhadi, buah hati mereka, kini berusia enam tahun. "Sekarang, kalau ada tawaran dari luar negeri saya akan berpikir ulang. Soalnya, anak saya sudah gede," katanya.
Selama ini kabarnya Anda melakukan penelitian dengan dana sendiri?
Kalau semuanya dari kocek sendiri tentu tidak. Tapi, selama ini saya melakukan penelitian biaya mandiri. Maksudnya kita kolaboratif dengan kolega dari luar negeri. Kita kan tidak bisa terlalu menuntut.
Apalagi, saat ini sebagian orang untuk makan saja masih susah, masa saya tiba-tiba minta dana untuk mencari kuark, yang manfaatnya tak bisa langsung dirasakan. Saya pernah dibilang teman-teman, 'kenapa kamu mau ngerjain hal yang begitu'. Saya jawab, karena justru hanya dilakukan sedikit orang jadi nggak ada saingan.
Bagaimana pendapat Anda tentang dunia fisika di Indonesia?
Saya kira, secara umum dunia scientific di Indonesia kontribusinya masih sangat kurang. Namun, salahnya kadang di pihak kita suka beralasan, orang industri kurang men-support kita. Kita nggak bisa menyalahkan industri. Dalam dunia, scientific itu output-nya hanya dua.
Kalau nggak membuat karya ilmiah di jurnal internasional untuk teoritik, dan paten untuk yang eksperimen. Syaratnya, harus ada suatu inovasi. Kalau itu tidak dilakukan tidak mungkin orang industri mengajak seseorang. Meskipun, contohnya saya ngaku bisa membuat semikonduktor, kalau saya tidak punya paten siapa yang akan mengajak? Karena, kalau saya tak punya paten tak ada jaminan bahwa yang saya buat itu memang baru dan pertama kali saya yang bikin.
Anda merasa ada perbedaan antara yang teoritik dan aplikatif?
Saya kurang suka kalau kita diharuskan melakukan penelitian yang aplikatif. Bukan, karena saya orang teoritik. Menurut saya, tak perlu ada dikotomi itu. Buktinya, untuk penelitian saya yang komputasi hasilnya sangat aplikatif, misalnya saya bikin public cluster. Pokoknya, apa saja orang boleh mengerjakan. Peneliti itu harus diberi kebebasan, yang paling penting dia harus dituntut harus bisa menghasilkan karya ilmiah di jurnal internasional untuk yang teoritik dan paten untuk yang aplikatif. Simple sekali sebenarnya.
Bagaimana masa depan fisika di Indonesia, menurut Anda?
Saya lebih suka bagaimana kita memperbaiki diri saja. Kalau komunitas kita bagus dan yang dihasilkan bagus, orang akan apresiasi dan memberi perhatian termasuk pemerintah. Terus terang, saya kurang nyaman kalau kita terlalu banyak menuntut. Itu prinsip saya sejak dulu.
Sebab, saat ini banyak orang yang hari ini masih bingung mau makan apa. Seburuk-buruknya pegawai negeri, saya kira lebih makmur. Saya lebih suka tak menuntut, kalau tidak punya uang, saya mencari dana dari luar negeri, saya merasa beban mental kecil. Saat mendapat Habibie Awards saya merasa senang, karena itu sebagai bentuk apresiasi. Namun di lain pihak itu jadi beban, bebannya adalah saya tak boleh mengeluh lagi.
Apa obsesi yang ingin Anda wujudkan dalam dunia fisika?
Obsesi saya simple saja. Saya ingin tetap eksis sebagai peneliti di bidang ini. Yang kedua, ingin komunitas fisika teoritik semakin besar, sehingga memiliki peran. Karena saya yakin, ini sangat penting. Di luar negeri saya lihat itu dianggap penting. Agar orang berpendapat ini penting, maka kita harus menunjukkan bahwa ini memang berguna. Kalau peneliti secara umum nggak aneh-aneh. Sebab, kita nggak tahu apakah teori yang kita buat itu benar atau nggak. Yang kita lakukan hanya didorong oleh curiosity. Yang membuat kita menarik, ya kita kerjakan.
Kalau ternyata teori yang kita hasilkan itu bagus dan berguna, jadi seperti teori Einstein, misalnya, itu sih urusan orang yang mengapresiasi. Kita tak bisa menaruh target apa-apa. Paling targetnya, kita harus publikasi supaya tetap survive di komunitas ini. Apakah itu bisa berguna, waktulah yang menentukan. Saya pikir semua bidang begitu, cuma range waktunya berbeda. Kalau saya mungkin 30 tahun, tapi kalau bidang IT dua tahun.
Apa yang membuat Anda paling berkesan dalam dunia fisika?
Kita itu hanya mendapat kepuasan batin saja. Kalau tanpa itu, nggak bisa bertahan kayaknya. Karena yang jelas uang nggak banyak. Nggak bisalah jadi kaya. Kalau miskin juga nggak. Itulah sebabnya, kita bekerja di luar sampai batas minimal, nggak bakal jadi miskin. Kalau pingin kaya, sudah salah jalur.
Bagaimana membagi waktu dengan keluarga?
Sebenarnya, kerjaan saya ini santai. Bisa dilakukan di mana saja. Termasuk di kamar mandi. Produk kita ini hanya karya tulis di jurnal internasional.
Apakah si kecil nanti akan didik jadi fisikawan?
Arti hidup buat saya simple saja, nggak pernah mimpi yang aneh-aneh. Saya tak pernah bercita-cita untuk berguna bagi orang lain, kelihatannya mewah banget. Pokoknya, saya nggak merugikan orang lain saja, susah sekali.
Ah nggak juga. Zaman sekarang kan bebas-bebas saja. Mau jadi seniman, pemusik juga nggak apa-apa. Yang penting berguna bagi masyarakat. Kalau mau milih jadi fisikawan seperti bapaknya juga silakan saja, ha... ha...
Sumber : Republika (5 Desember 2004)