Demam uang elektronik semakin merambah ke semua sektor bisnis. Lihat saja penawaran toko online, paket liburan dan gadget di akhir tahun 2012. Ingin berlibur ke Singapura, naik BRT Trans Jogja, beli pemutar lagu iPod keluaran terbaru, makan di Bandung, hingga membeli oleh-oleh khas Bali bisa dengan uang elektronik.
Jika melihat fenomena itu, bagaimana uang elektronik bisa mengubah cara berbisnis dan belanja kita sehari-hari? Mampukah uang elektronik menggantikan uang tunai?
Saat ini, mesin ATM sudah merambah ke pelosok daerah. Berkembangnya supermarket mendorong perubahan perilaku pembayaran tunai secara elektronik. Penggunaan uang elektronik sebagai alat transaksi menjadi kegiatan sehari-hari dalam transaksi bisnis.
Bank Indonesia memberikan lampu hijau penggunaan uang elektronik, terutama pada liburan akhir tahun dan Idul Fitri. Uang elektronik memudahkan transaksi pembayaran tanpa uang tunai seperti bayar tol, parkir, dan membeli barang.
Walau nilai transaksi uang elektronik masih relatif kecil dibandingkan dengan uang tunai, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan. Data Bank Indonesia per November 2012 menunjukkan, total pemilik uang elektronik mencapai 21 juta. Pertumbuhan jumlah pemilik uang elektronik ini terus meningkat. Tahun 2008 tumbuh 161% dari tahun 2007 dan setahun kemudian melonjak 600%. Sedangkan tahun 2010 meningkat 162% dan tahun 2011 naik 81%. Peningkatan jumlah uang elektronik ini mengindikasikan adanya perubahan cara bertransaksi bisnis.
Bank Indonesia berkepentingan meningkatkan pemakgaian uang elektronik.Pgasalnya, uang elektronik mengurangi biaya pembuatan uang tunai, memperkecil peluang pemalsuan uang dan bisa mengintegrasikan sistem keuangan. Transaksi uang elektronik memiliki kelebihan penyimpanan data transaksi sehingga dapat dilakukan penelusuran forensik aliran dana. Pengawasan transparansi dan tata kelola transaksi keuangan bisnis bisa dilakukan dengan cepat dan terintegrasi.
David Birch (2012) meramalkan, secara ekonomis dan psikologis kegunaan uang tunai melemah, sebaliknya fleksibilitas uang elektronik terus meningkat. Sejarah uang elektronik menunjukkan peralihan pelaku konsumen dan persaingan usaha memaksa proses bisnis memakai uang elektronik.
Nah, akankah terjadi peralihan cara transaksi bisnis seperti peralihan dari barter barang ke logam mulia, kemudian ke uang logam dan kertas? Di masa depan uang tunai akan beralih ke uang elektronik. Apakah sudah waktunya transaksi keuangan beralih dari uang tunai ke uang elektronik.?
Peningkatan jumlah ATM, kartu debit, dan e-cash bisa menjadi pendorong penggunaan uang elektronik. Contohnya, uang elektronik beberapa bank di Indonesia dalam bentuk kartu pre-paid seperti Flazz (BCA), e-Toll, Indomaret Card dan Gazz Card (Bank Mandiri), Brizzi (Bank BRI), BNI Pre-Paid, dan lainnya. Uang elektronik mendorong fleksibilitas transaksi konsumen. Persaingan bisnis akan semakin kuat untuk memberikan kemudahan bagi konsumen.
Perkembangan telekomunikasi mengarah pada penggunaan ponsel sebagai uang elektronik. Pemerintah Inggris mengerjakan infrastruktur pembayaran elektronik secara nasional. Di Perancis, operator ponsel dan bank bersama-sama meluncurkan sistem pembayaran. Di Jerman, operator telepon seluler membuat uang elektronik sendiri.
Di Amerika, Google bekerja sama dengan Spint dan MasterCard merancang Wallet. Belanda menerapkan beberapa tempat sebagai daerah bisnis bebas uang tunai. Di Swedia, pemerintah dan serikat pekerja bersama-sama mengurangi peredaran uang tunai untuk mengurangi tingkat kejahatan.
Sementara di Indonesia, bank dan operator telekomunikasi mulai menyediakan uang elektronik. Saat ini, ada 13 perusahaan yang terdaftar sebagai penerbit uang elektronik di Bank Indonesia.
Kesiapan Infrastruktur
Uang elektronik ini menjadi tren dunia. Federal Reserve Bank of New York (2001) mengindikasikan tiga tren keuangan elektronik. Yaitu, meningkatnya transparansi harga, diferensiasi harga, dan transformasi kanal distribusi.
Transparansi harga mengakibatkan kompetisi bisnis dan mengurangi profit margin. Perilaku mencari informasi di internet memungkinkan terjadinya transparansi harga. Rendahnya biaya mencari informasi mengakibatkan diferensiasi harga berpengaruh besar pada bisnis. Transformasi kanal distribusi produk keuangan membutuhkan restrukturisasi aktivitas bisnis. Ketatnya persaingan bisnis cenderung mendorong percepatan peralihan uang tunai ke uang elektronik.
Risiko uang elektronik diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/11/DASP. Penyelenggara uang elektronik harus mempertimbangkan risiko. Risiko tersebut antara lain risiko operasional terkait dengan teknologi informasi. Ada pula risiko likuiditas yang meliputi mekanisme pemenuhan kewajiban penerbit dan mekanisme jika penerbit gagal bayar. Lalu, risiko hukum dan reputasi penyelenggara uang elektronik. Bila terjadi peralihan pola transaksi ke uang elektronik, bisnis perlu merancang strategi persaingan dan fleksibilitas transaksi.
Bersiaplah memasuki uang elektronik.!
( *Penulis: Y. Arief Rijanto-Kontan 25 Februari 2013)
Informasi dan konsultasi implementasi uang elektronik dalam organisasi anda bisa menghubungi fajarbaskor@gmail.com atau sms ke +60103670488.
Share this