Sekolah yang indah (Dikutip dari Blognya Gede Prama)
Di banyak tempat, mulai ditemukan kasus-kasus home schooling. Anak-anak takut pergi ke sekolah karena berbagai alasan. Dari dipukuli teman, ngeri guru galak, pekerjaan rumah yang menumpuk, ujian (ulangan) yang tidak ada habisnya.
Seorang sahabat menteri kabinet yang anaknya terkena home schooling, memutar kepala habis-habisan bagaimana agar wajah sekolah menjadi indah di mata anaknya. Ini memberi inspirasi, mungkin ini saatnya merenungkan sisi-sisi sekolah yang indah. Dan diantara sekian pilihan yang tersedia, latihan memberi adalah salah satu alternatif.
Di sebuah pelatihan supir untuk perusahaan taksi terkemuka pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. Di hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena tidak diberikan makan siang. Maka berlomba peserta membawa makanan yang seenak-enaknya. Ternyata di waktu makan siang supir diminta meletakkan nasi bungkusnya di kelas sebelah untuk dimakan peserta kelas sebelah. Sedangkan yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa sahabat kelas sebelah.
Di hari kedua, lagi-lagi diumumkan untuk membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang dibawa untuk orang lain, banyak peserta yang hanya membawa nasi seadanya. Tidak sedikit hanya memasukkan nasi putih tanpa berisi satu lauk pun. Dan ternyata di hari kedua aturannya berubah, peserta harus memakan nasi yang dibawa dari rumah. Dan tahu sendiri akibatnya.
Apa yang mau diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya manusia kekinian memberi, bahkan banyak yang sampai stroke hanya karena memberi berlebihan pada perut. Namun berkaitan dengan perut orang lain betapa sedikit yang diberikan. Dan tiba-tiba para supir taksi tersentak, betapa egoisnya hidup, dan keegoisan inilah yang membuat hidup jadi penuh penderitaan.
Para guru yang kaya di dalam, tidak pernah bosan membimbing muridnya: “Memberi, memberi, memberilah terus. Dan lihat bagaimana hidupmu jadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.
Dan ini bisa dilakukan melalui hal-hal yang kerap disebut “sepele”: menyapu lantai, membantu anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah, menemani anak-anak main bola, merapikan piring ketika pembantu tidak ada, membantu pekerjaan teman di kantor yang bebannya lagi tinggi, memberi jalan pada orang-orang yang sedang terburu-buru.
Di sekolah para guru boleh meniru pola pelatihan supir taksi tadi, bisa juga mengajak anak-anak didik pergi ke panti asuhan, rumah orang-orang yang tubuhnya tidak lengkap, menjenguk pasien-pasien tua di rumah jompo, bermain bola bersama anak kampung. Intinya satu, menyadarkan mereka bahwa memberikan itu membahagiakan.
Dalam bahasa orang-orang yang rajin memberi, ketika memberi sesungguhnya manusia tidak saja sedang mengurangi beban orang lain, melainkan juga sedang membangunkan sifat-sifat bajik yang ada di dalam diri. Dan tatkala sifat-sifat bajik muncul, kebahagiaan muncul secara alamiah.