MEMUAKKAN! Sesungguhnya sungguh-sungguh memuakkan jika kita harus
membincangkan dan menyaksikan lagi, lagi, dan lagi, perilaku koruptif
kaum elite di negeri ini.
Saya tak perlu minta maaf untuk penggunaan kata yang kasar ini,
mengingat sudah cukup banyak kata, istilah, peribaratan, atau
tudingan yang diarahkan untuk mengoreksi, memprotes, menggugat,
bahkan memaki kaum itu, oleh berbagai kalangan, dengan tulisan,
pidato, demonstrasi, hingga ancaman. Tetapi mereka, elite yang
terhormat itu, bergeming. Seperti patung yang memandang searah saja,
tak peduli hujan, terik matahari, atau kotoran burung jatuh di
kepalanya.
Istilah "pengkhianatan" yang digunakan Franz Magnis-Suseno untuk
melukiskan sebab akan tergelincirnya bangsa ini ke jurang (Kompas,
27/9) adalah "makian" terakhir, setelah Ketua PP Muhammadiyah Syafii
Maarif mengetok palu fatwanya dengan mengatakan kerusakan moral
politik kita sudah sempurna. Saya menjamin, patung-patung elite tetap
bergeming. Hatinya telah hitam, membeku, membatu. Tak peduli etika,
tak peduli agama, tak peduli sejarah, tak peduli cucu buyut, kecuali
diri sendiri.
Apa yang lalu dihasilkan dari pribadi yang membeku dan hati yang
membatu? Tidak lain adalah masyarakat dan adab yang mengeras, bukan
dalam kebaikan namun semua hal buruk yang diteladani para
pemimpinnya. Masyarakat pun menjadi kumpulan mannequin kesalahan yang
akan menggiring diri mereka sendiri pada peradaban kaku, stagnan,
serta involutif. Sebuah tanda yang jelas bahwa di negeri ini belum
ada sipil yang berdaya, belum ada publik "emoh negara" (betapa jauh
perjalanan untuk itu). Namun melulu sekumpulan domba yang beriring ke
mana tongkat gembala mengarahkannya. Sejak ratusan lalu.
Betapa pun cantiknya ide tentang negara dan publik di masa
pascareformasi, kenyataan mental bangsa ternyata belum bergeser dari
kondisinya di masa prakemerdekaan. Tuan dan majikan adalah panutan.
Apa yang tuan lakukan itulah kebenaran. Soal baik buruknya, silakan
bahas di buku dan kuliah subuh. Dalam lukisan Emha Ainun Najib, itu
adalah masyarakat yang datang ke tempat ibadah, ke pengajian,
menentang KKN, mendemo otoriterianisme, tetapi juga yang pasang
togel, mencolek penari ronggeng, atau minum bir di pojok kampung.
Masyarakat seperti itu adalah wajah Narcissus dari para elite yang
memerintahnya. Keduanya adalah cermin yang berbalik muka. Apa yang
dilakukan kaum elite menjadi pengabsah tindakan publiknya. Pada
giliran berikut, perilaku tetiron publik itu melegitimasi kelakuan
berikutnya dari sang elite. Lingkaran setan yang cuma setan mampu
mengebalkan hati untuk menikmatinya. Seraya tersenyum dan berpidato
bahwa ia mewakili konstituennya. Begitu sebaliknya.
Pada titik inilah, solusi ringkas yang dinyatakan Franz Magnis-Suseno
bahwa perlu public pressure untuk mengatasi kedegilan dan ancaman
jurang bangsa ini tidaklah memadai. Tepatnya sia-sia (untuk
sementara). Lantaran, solusi itu akan dihantui pertanyaan sederhana
yang mengikutinya, publik yang mana? Sementara publik sendiri pun
sudah bermental koruptif, tidak mungkin ia mem-pressure dirinya
sendiri. Publik yang terlembagakan atau terwakili? Ini pun
disangsikan. Bukan hanya karena sinyalemen, tetapi sebagian telah
terbukti, lembaga independen yang mewakili publik, entah yayasan,
entah LSM, partai, lembaga agama, ormas, apa pun, juga melakukan
tindak koruptifnya sendiri- sendiri. Dan kita tak perlu menutup mata,
hanya untuk mengidealisasi bahwa masih ada elemen bangsa ini yang
masih baik dan terjaga moralitasnya.
Pesimistis? Bukan saya saja. Tetapi ratusan dan ribuan pernyataan
lain yang muncul di media massa hampir tiap hari. Namun pesimisme
sebenarnya-setidaknya bagi saya pribadi-adalah motif yang cukup kuat
untuk kita melakukan perubahan dengan cara lebih keras, radikal.
Mungkin pula semacam izin untuk tindakan-tindakan yang tidak biasa,
yang (di) luar (ke)biasa(an). Semacam trigger yang mendorong
seseorang memiliki keberanian lebih dari biasanya.
MASYARAKAT Jakarta tampaknya tidak merasa asing lagi dengan
sekumpulan anak muda yang berdiri di perempatan jalan
untuk "membantu" kelancaran lalu lintas. Para "pak ogah"
alias "polisi cepek" ini tidak menentukan tarif untuk jasa yang
ditawarkan, namun bisa dipastikan hasil yang mereka dapatkan lumayan,
bahkan cukup untuk memenuhi kebutuhan harian sebagian mereka, di
antaranya sudah berkeluarga dengan beberapa anak. Di bilangan
Ciputat, hasil "kerja" seperti ini bisa membuahkan ratusan ribu
rupiah sehari.
Yang menarik dari keberadaan "pak ogah" adalah tak sadarnya
masyarakat pengguna kendaraan bermotor, yang rela dan kurang rela,
memberikan uang recehnya, sebenarnya telah membantu, mensubsidi,
bahkan menggantikan tugas negara/pemerintah dalam mengatasi
pengangguran. Dapat diperhitungkan, berapa ongkos sosial yang harus
ditanggung pemerintah jika ribuan "polisi cepek" se-Jabotabek
kehilangan "pekerjaan" yang tak tercatat statistik itu.
Subsidi masyarakat ini belum lagi memperhitungkan ribuan tukang
parkir partikelir, ribuan pengamen, ribuan pengemis gadungan, ribuan
penagih sumbangan di pinggir (atau tengah) jalan, termasuk pembersih
kaca mobil di banyak perempatan. Keterlibatan publik ini, secara
positif, bisa kita pahami sebagai simpati dan kesediaan mereka
berbagi rasa dan hati dengan sebagian lain dari masyarakat yang
kurang beruntung. Satu modal moral yang dapat diperbesar menjadi
sebuah gerakan yang lebih semesta menetapkan dan menerapkan
kata "cukup" dalam hidup kita sehari-hari.
Inilah gerakan moral untuk hidup cukup dengan pemenuhan kebutuhan
primer, atau sebagian sekunder. Hidup yang merasa cukup saat
kebutuhan dasar untuk survive dan aktualisasi dapat dipenuhi. Tanpa
pilihan harga, gengsi, gaya, atau nafsu material berlebihan. Jika
empat sehat lima sempurna sudah terpenuhi dari warung sayur sebelah
rumah, kenapa harus mengonsumsi makanan mahal, impor, merek asing,
atau restoran super mahal. Sementara kandungan gizi, mineral, dan
kalorinya mungkin sama.
Rapat-rapat kabinet cukup minum dari air botol, produk lokal yang
telah teruji, ketimbang produk luar negeri yang super mahal. Mengapa
tidak menggunakan mobil sederhana ketimbang mobil built up? Mengapa
tidak kemeja Cibaduyut yang penuh gaya dan berjahitan sempurna,
ketimbang menteri dan anggota parlemen memamerkan merek asing di
depan kamera TV. Mengapa presiden tak menggunakan pesawat komersial
untuk perjalanan lokal, ketimbang pesawat khusus dan rombongan besar
yang memakan banyak uang rakyat?
Akhirnya, marilah kita cukupkan cara kita sukses dengan kinerja
profesional. Tidak dengan rayuan, ancaman, atau sebundel uang.
Marilah merasa malu pada diri sendiri dan publik ketika, sebagai
contoh, Oetojo Oesman, Ketua Panitia Konvensi Golkar, yang
mengatakan, jika untuk menjadi gubernur kita bicara "M", mengapa
tidak jika ingin jadi presiden kita bicara "T". Ini soal gizi, soal
uang, yang Oetojo sendiri pasti gemetar untuk mempertanggungjawabkan
ucapannya. Dari mana "T" alias triliunan rupiah itu datang? Pasti
bukan uang siluman atau uang palsu. Uang siapa? Tak ada yang pasti.
Kecuali satu, uang itu pasti berasal dari rakyat.
Kita cukupkan itu semua, termasuk menggelapkan uang rakyat lewat
kelicikan retoris apa pun. Biarlah gerakan moral ini menata,
meluruskan, menilai, dan memutuskan sanksi moralnya. Jika Presiden
Megawati-coba lihat pemimpin di India dan Cina-dapat memperlihatkan
kesederhanaan, yang mungkin dianggap miskin oleh sejawatnya,
masyarakat tetiron kita akan berdiri tertib di belakangnya. Biarlah
kita miskin materi secara pribadi, tetapi kaya akan karya dan
pengabdian pada rakyat semesta.
Gerakan moral semesta ini tidak akan dipatuhi seluruh penghuni
republik karena selain akan mengundang antipati dari mereka yang
tergila dengan asas laissez faire: moralitas oksidental atau semacam
surat izin untuk merasa senantiasa tidak puas dengan apa yang kita
miliki. Juga alam "demokratis" tidak memberi kita surat izin untuk
melarang mereka, sejahat apa pun produk atau hasil perbuatan penuh
nafsu mereka.
Siapa pun, memang, tak hendak miskin. Terlebih jika ia memiliki
kesempatan untuk menolaknya. Semua agama juga memberi peluang untuk
itu. Tak ada yang salah untuk itu. Persoalannya adalah taktik rakyat
di semesta republik ini, kemakmuran yang kita miliki kita kembalikan
pada publik, dengan cara apa pun, membuka sebanyaknya peluang usaha,
mendanai ide-ide kreatif yang menunjang perbaikan hidup, atau sekadar
membantu mereka yang tak mampu, seperti kita memberi seribu rupiah
untuk "pak ogah". Untuk kita sendiri, tak mengapa miskin di hadapan
mereka yang tak henti mengejar kekayaan. Dan jadilah kita orang yang
sejahtera ketika kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki.
Radhar Panca Dahana penyair